Postingan

Minangkabau Tidak Pernah Ditaklukkan Majapahit

Minangkabau  Tidak Pernah Ditaklukkan Majapahit Oleh : Armunadi  Sejarah Nusantara kerap ditulis dari sudut pandang Jawa. Salah satu narasi yang terus diulang adalah klaim bahwa Minangkabau pernah ditaklukkan oleh Majapahit. Namun, bila kita teliti lebih dalam, klaim ini tidak hanya rapuh secara bukti, tapi juga bertentangan dengan logika sejarah. Di Minangkabau, tidak pernah ditemukan prasasti atau tambo yang mencatat penaklukan oleh Majapahit. Sebaliknya, yang muncul adalah kisah kemenangan lokal, seperti peristiwa di Padang Sibusuk, di mana pasukan Jawa disebut-sebut kalah telak hingga banyak yang tewas. Jika benar Minangkabau pernah ditaklukkan, seharusnya ada jejak kuat—dalam bahasa, arsitektur, agama, atau sistem pemerintahan. Faktanya, jejak itu tidak pernah ada. Sering kali klaim penaklukan didasarkan pada prasasti Kutorejo (1284 M) tentang Ekspedisi Pamalayu, ketika arca Amoghapāśa dikirim ke Dharmasraya. Banyak yang menafsirkannya sebagai simbol supremasi Jawa. Namun...

Trisintesis Kebangsaan: Menjaga Api, Bukan Abu

Trisintesis Kebangsaan: Menjaga Api, Bukan Abu Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, dan di sebuah lapangan kecil, sekelompok anak berseragam putih merah berdiri berbaris. Sepatu mereka mungkin tak mengilap, beberapa bahkan mulai robek di ujungnya, tapi mata mereka memandang tiang bendera dengan kesungguhan yang membuat dada kita panas-dingin. Di kejauhan, seorang kakek mengenakan peci hitam lusuh, berdiri tegap sambil menyanyikan “Indonesia Raya” tanpa melihat teks. Suaranya serak, tapi setiap kata seperti keluar dari tempat yang lebih dalam dari sekadar kerongkongan—dari sebuah janji lama yang belum tuntas. Sejak proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, pertanyaan terbesar kita bukan hanya “bagaimana merebut kemerdekaan,” tapi “bagaimana mengisinya.” Banyak pikiran besar lahir dari masa itu, menawarkan jalan yang berbeda-beda, semua dengan niat yang sama: memastikan negeri ini berdiri tegak, makmur, dan bermartabat. Dalam jejak sejarah, ada benang merah: bangsa ini butu...

## **Minangkabau Tak Bertakhta**

## **Minangkabau Tak Bertakhta** ### *Menemukan Urat Budaya di Tengah Jejak Kekuasaan dan Luka Bangsa* **Catatan Anak Nagari** --- Kadang, yang paling disalahpahami adalah yang paling diam. Minangkabau sudah ribuan tahun berdiri, tapi ia tak pernah mendirikan istana. Tak satu pun benteng dibangun untuk menjaganya, tapi ia bertahan. Orang datang dan bertanya: siapa rajamu? Di mana tahtamu? Tapi kami yang lahir dari surau, dari sawah, dari suara bundo di dapur — hanya tersenyum. Karena yang mereka cari bukan yang kami simpan. Sejarah mencatat kerajaan, menulis nama raja, menghitung jumlah pasukan. Tapi kami lahir dari mufakat, bukan titah. Dari Pariangan di lereng Marapi , para ninik mamak pertama kali berseru — bukan untuk memerintah, tapi untuk menyepakati. Kami punya suku sebelum kami punya batas wilayah. Kami punya rumah gadang sebelum kami tahu apa itu istana. Dan kami punya adat, sebelum orang luar memberi kami bendera. Selalu ada dorongan untuk menaklukkan. Maka datanglah narasi b...

# Mantra, Kandang, dan Pawang : Esai Satir Reflektif

# Mantra, Kandang, dan Pawang : Esai Satir Reflektif  Di bawah tenda putih yang disewa dari EO lokal, seratus orang duduk berhadapan dengan panggung kecil. Di atas panggung, seseorang berbicara. Kata-katanya mengalir seperti doa: partisipatif, kolaboratif, transformatif, berkelanjutan. Di layar belakangnya, slide berbunyi: *“Membangun Ekosistem Kreatif Inklusif Berbasis Komunitas”*. Semua tepuk tangan. Tidak ada yang tahu persis apa maksudnya, tapi semua merasa ini penting. Kata-kata hari ini telah menjadi mantra. Ia tidak lagi diucapkan untuk menjelaskan. Ia diucapkan untuk menguasai. Yang paling fasih menyusun kata-kata adalah yang paling dihormati — meski kerap tak satu pun yang ia katakan bisa diuji maknanya. Hari ini kita hidup di zaman *proyek-minded*. Di mana orang-orang berkerumun bukan untuk berbagi gagasan, tapi untuk menyusun proposal. Bukan untuk merancang masa depan bersama, tapi untuk mengisi kolom-kolom anggaran. Bukan untuk bertanya, tapi untuk mendapatkan stempel. ...

Bukit Siguntang di Kaki Marapi: Tafsir Tandingan Asal Usul Melayu

### Bukit Siguntang di Lereng Marapi: Tafsir Tandingan Asal Usul Melayu Pernahkah kita bertanya, mengapa narasi tentang Bukit Siguntang begitu kuat dalam cerita-cerita Melayu, tetapi begitu samar dalam jejak tapaknya? Di Palembang, Bukit Siguntang dipercaya sebagai tempat suci, tempat turun para raja, tempat asal usul keturunan bangsawan Melayu. Namun di Minangkabau, nama itu juga muncul — tidak sebagai dongeng pinggiran, tetapi sebagai bagian dari tubuh tambo yang hidup dan diwariskan turun-temurun. Dalam dokumen sejarah lokal yang ditulis oleh masyarakat Jorong Batur, Tanah Datar, disebutkan dengan jelas: “Perkampungan baru di Galundi Nan Baselo yang disebut juga Bukit Siguntang-guntang Gunung Merapi atau Bukit Siguntang-guntang Mahameru, sekitar abad ke-14...” Penyebutan *Bukit Siguntang-guntang Gunung Merapi* adalah penanda penting. Ia bukan sekadar tumpukan tanah suci, tapi tempat di mana **laku sejarah dan jejak budaya bermula**. Di sinilah — menurut tambo Minangkabau — nenek moy...

Minangkabau sebagai Ibu Peradaban: Menimbang Ulang Akar Budaya Melayu

**Minangkabau sebagai Ibu Peradaban: Menimbang Ulang Akar Budaya Melayu** **Pendahuluan** Dalam pusaran diskusi identitas dan asal-usul etnis di Sumatera, muncul narasi yang semakin gencar menyebut bahwa Minangkabau berasal dari Melayu. Pandangan ini mengasumsikan bahwa Melayu adalah induk utama, dan semua budaya pesisir maupun pedalaman Sumatera hanyalah cabang dari satu batang pokok bernama Melayu. Namun, apabila kita meninjau ulang dokumen adat, tambo, struktur sosial, bahasa, dan ekspresi budaya Minangkabau, justru sebaliknya: Minangkabau dapat dipandang sebagai bentuk asal yang lebih tua dari dunia Melayu, baik dari sisi sosial, spiritual, maupun sejarah lisan. **1. Matrilineal: Sistem Tua yang Mengakar** Minangkabau adalah satu dari sedikit kebudayaan besar di dunia yang memegang sistem matrilineal secara utuh. Garis keturunan dan harta pusaka diturunkan melalui ibu, bukan ayah. Sebagaimana disebut oleh antropolog seperti Lewis H. Morgan dan J.J. Bachofen, sistem matrilineal adal...

Tungku Tigo Sajarangan: Menimbang Ulang Keseimbangan yang Retak

Di pagi hari, ketika kabut masih mengambang di lereng Marapi dan suara ayam jantan bersahutan dari surau, kampung seperti kembali ke denyut asalnya. Suara alu bertalu dari dapur rumah gadang, menandakan kehidupan masih berputar. Namun di balik irama itu, ada yang terasa longgar: norma tak lagi digenggam, dan keputusan tak tahu lagi ke mana bertumpu. Adakah tungku yang masih tiga, atau kini menjadi nyala api tanpa penjaga? Orang Minangkabau mengenal pepatah yang menegaskan fondasi kehidupan sosialnya: “Tungku tigo sajarangan: adat, syarak, raja.” Adat sebagai tata nilai, syarak sebagai petunjuk ruhani, dan raja—atau pemerintahan—sebagai penopang aturan. Ketiganya bekerja dalam satu meja mufakat. Namun tungku ini bukan sekadar struktur simbolik. Ia adalah hasil peradaban yang terukur, diwariskan oleh para leluhur untuk menjaga arah dan martabat hidup bersama. Hari ini, keseimbangan itu goyah. Syarak dibatasi oleh peran seremoni, suara adat teredam oleh regulasi negara, dan peran “raja”—y...