# Mantra, Kandang, dan Pawang : Esai Satir Reflektif

# Mantra, Kandang, dan Pawang : Esai Satir Reflektif 


Di bawah tenda putih yang disewa dari EO lokal, seratus orang duduk berhadapan dengan panggung kecil. Di atas panggung, seseorang berbicara. Kata-katanya mengalir seperti doa: partisipatif, kolaboratif, transformatif, berkelanjutan. Di layar belakangnya, slide berbunyi: *“Membangun Ekosistem Kreatif Inklusif Berbasis Komunitas”*. Semua tepuk tangan. Tidak ada yang tahu persis apa maksudnya, tapi semua merasa ini penting.

Kata-kata hari ini telah menjadi mantra. Ia tidak lagi diucapkan untuk menjelaskan. Ia diucapkan untuk menguasai. Yang paling fasih menyusun kata-kata adalah yang paling dihormati — meski kerap tak satu pun yang ia katakan bisa diuji maknanya.

Hari ini kita hidup di zaman *proyek-minded*. Di mana orang-orang berkerumun bukan untuk berbagi gagasan, tapi untuk menyusun proposal. Bukan untuk merancang masa depan bersama, tapi untuk mengisi kolom-kolom anggaran. Bukan untuk bertanya, tapi untuk mendapatkan stempel.

Komunitas bukan lagi jaringan kehidupan. Ia telah direduksi menjadi kandang data. Kita dikumpulkan, dipotret, dilampirkan, dijadikan nilai tambah bagi proposal orang lain. Diksi puitik — yang dulu lahir dari perenungan dan pengalaman — kini menjelma kostum. Ia tak lagi mengungkap, tapi menutup. Ia tak lagi menyederhanakan, tapi menyihir.

Dan para pawang berdiri di tengahnya.

Mereka ahli membaca arah anggaran. Mereka tahu kapan harus menyebut *“inklusif”*, kapan menyelipkan *“sustainable”*, kapan harus menggunakan *“ruang interaksi”*. Mereka menciptakan frasa seperti pembuat kue mencetak donat. Rapi. Bulat. Manis. Kosong di tengah.

Proposal yang mereka buat tak ubahnya tombak yang diserahkan ke lembaga pemberi dana. Tapi tombak itu rapuh. Ia tak bisa menusuk persoalan. Ia hanya dibuat menyerupai tombak, padahal sesungguhnya hanyalah tongkat kayu — dibalut metafora, dibubuhi semangat palsu.

Dan kita semua, entah sadar atau tidak, ikut dalam lingkarannya. Kadang kita datang karena ingin bagian. Kadang kita membaca doa yang sama. Kadang kita menyesuaikan napas dengan mantranya. Kadang kita diam saja, sambil berharap: *“mungkin kali ini bisa masuk termin pertama.”*

Tapi sampai kapan?

Sampai kapan kita menyebut keterlibatan saat yang diundang hanya untuk tepuk tangan?
Sampai kapan kita menamai program sebagai “ruang kolektif” saat yang hadir hanya untuk tandatangan?
Sampai kapan kita menyusun kalimat-kalimat indah untuk menutupi lubang kosong di bagian isi?

Barangkali kita perlu kembali bertanya:

> Apa arti ‘berdaya’ jika hanya sebatas angka presentasi?
> Apa arti ‘pemberdayaan’ jika dibayar dengan kaus, konsumsi, dan e-sertifikat?

Jika ini gerakan, mengapa kita diam saat panggungnya dibongkar?
Jika ini komunitas, mengapa kita tak saling mencari saat anggarannya habis?

Barangkali, kita bukan lagi komunitas. Kita adalah *komoditas*.

Dijual pada angka. Dijual pada narasi. Dijual pada siapa pun yang bisa menuliskan diksi-diksi itu dalam format PDF.

Dan yang bisa menuliskan itu — disebut pawang.

Ia menyihir proposal seperti dukun menyihir pisang agar berbuah uang. Tapi yang disihir bukan hanya dokumen. Yang disihir adalah kita: yang hadir, yang diam, yang menyaksikan, yang ikut mengangguk.

Di zaman ini, bahasa telah menjadi topeng. Dan topeng itu telah menjelma alat legitimasi. Ia tidak hanya membuat pawang terlihat bijak. Ia membuat pawang tampak perlu.

Tapi di balik semua ini, masih adakah satu kalimat yang benar-benar jujur?
Masih adakah satu ruang yang benar-benar terbuka tanpa daftar hadir?
Masih adakah satu pertanyaan yang tidak otomatis berubah menjadi bahan power point?

Jika ada — kita masih punya harapan.

Jika tidak — barangkali kita akan terus hidup dalam pertunjukan yang sama:
Di mana kata menjadi kabut.
Komunitas menjadi kandang.
Dan pawang tetap mengangkat tongkatnya — sambil tersenyum di depan kamera.

---

**Armunadi**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Review Puisi Esai “Nasionalisme di Era Algoritma” oleh Denny JA

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia