Minangkabau Tidak Pernah Ditaklukkan Majapahit

Minangkabau  Tidak Pernah Ditaklukkan Majapahit

Oleh : Armunadi 

Sejarah Nusantara kerap ditulis dari sudut pandang Jawa. Salah satu narasi yang terus diulang adalah klaim bahwa Minangkabau pernah ditaklukkan oleh Majapahit. Namun, bila kita teliti lebih dalam, klaim ini tidak hanya rapuh secara bukti, tapi juga bertentangan dengan logika sejarah.

Di Minangkabau, tidak pernah ditemukan prasasti atau tambo yang mencatat penaklukan oleh Majapahit. Sebaliknya, yang muncul adalah kisah kemenangan lokal, seperti peristiwa di Padang Sibusuk, di mana pasukan Jawa disebut-sebut kalah telak hingga banyak yang tewas. Jika benar Minangkabau pernah ditaklukkan, seharusnya ada jejak kuat—dalam bahasa, arsitektur, agama, atau sistem pemerintahan. Faktanya, jejak itu tidak pernah ada.

Sering kali klaim penaklukan didasarkan pada prasasti Kutorejo (1284 M) tentang Ekspedisi Pamalayu, ketika arca Amoghapāśa dikirim ke Dharmasraya. Banyak yang menafsirkannya sebagai simbol supremasi Jawa. Namun, mari kita pikir logis:

Supremasi ditunjukkan dengan pasukan dan pajak, bukan dengan mengangkut patung batu ribuan kilo menyeberangi laut.

Pengiriman arca justru lebih mirip “oleh-oleh diplomatik” ketimbang tanda dominasi.

Apalagi, saat itu Raja Kertanegara baru saja menantang Mongol dengan menghina utusan Kubilai Khan. Dalam posisi genting, ia membutuhkan sekutu, bukan musuh baru. Dharmasraya di Sumatra—pewaris Sriwijaya dan penguasa jalur emas di Selat Malaka—adalah mitra strategis yang harus dirangkul.

Satu fakta penting sering terabaikan: permaisuri kerajaan Jawa berasal dari Dharmasraya. Namanya Dara Petak, seorang putri Sumatra yang dinikahkan ke Jawa. Dari rahimnya lahirlah Kertanegara, raja besar Singhasari dan leluhur para raja Majapahit. Dengan kata lain, darah Sumatra—darah Minangkabau—justru mengalir dalam tubuh raja-raja Jawa.

Jika Sumatra atau Minangkabau benar-benar ditaklukkan, mustahil putri mereka duduk di singgasana sebagai permaisuri, bahkan menjadi ibu dari seorang raja besar. Perkawinan politik ini jelas menunjukkan posisi aliansi setara, bukan hubungan penguasa-jajahan.

Saudari Dara Petak, yakni Dara Jingga, juga punya peran penting. Dari garis keturunannya lahirlah Adityawarman, penguasa besar yang mengukuhkan Minangkabau sebagai kekuatan independen di Sumatra.

Majapahit beragama Hindu-Buddha, sementara Minangkabau tidak pernah tercatat memeluk agama Buddha secara massal. Sejak abad ke-14, justru Islam berkembang pesat di Minangkabau melalui jalur perdagangan. Seandainya ada penaklukan, tentu akan ada jejak agama Hindu-Buddha yang kuat. Faktanya, pengaruh itu hanya berupa fragmen kecil, tidak pernah mendominasi.

Kitab Negarakertagama memang mencantumkan nama Minangkabau dalam daftar daerah “di bawah” Majapahit. Namun, daftar itu lebih tepat dibaca sebagai retorika legitimasi ketimbang fakta politik. Dalam tradisi kerajaan Asia Tenggara, “pengakuan” sering berarti hubungan diplomatik atau pertukaran upeti simbolis, bukan penaklukan nyata.

Sistem adat Minangkabau menekankan kemerdekaan nagari dan kedaulatan lokal. Jika benar pernah ditaklukkan, mustahil hal itu hilang dari ingatan kolektif. Justru yang terpelihara dalam kaba dan tambo adalah kisah perlawanan serta kemandirian.

Maka, narasi penaklukan Minangkabau oleh Majapahit lebih tepat disebut mitos politik Jawa ketimbang realitas sejarah. Hubungan yang ada adalah aliansi setara—bahkan lewat perkawinan, darah Sumatra masuk ke dalam trah raja Jawa.

Sejarah Nusantara bukan soal siapa menjajah siapa, melainkan soal bagaimana berbagai pulau dan kerajaan membangun jaringan interaksi dalam menghadapi tantangan global, dari jalur perdagangan hingga ancaman Mongol. Dalam kisah ini, Minangkabau bukan wilayah taklukan, melainkan mitra penting yang menjaga marwahnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Review Puisi Esai “Nasionalisme di Era Algoritma” oleh Denny JA

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia