## **Minangkabau Tak Bertakhta**
## **Minangkabau Tak Bertakhta**
### *Menemukan Urat Budaya di Tengah Jejak Kekuasaan dan Luka Bangsa*
**Catatan Anak Nagari**
---
Kadang, yang paling disalahpahami adalah yang paling diam.
Minangkabau sudah ribuan tahun berdiri, tapi ia tak pernah mendirikan istana. Tak satu pun benteng dibangun untuk menjaganya, tapi ia bertahan. Orang datang dan bertanya: siapa rajamu? Di mana tahtamu? Tapi kami yang lahir dari surau, dari sawah, dari suara bundo di dapur — hanya tersenyum.
Karena yang mereka cari bukan yang kami simpan.
Sejarah mencatat kerajaan, menulis nama raja, menghitung jumlah pasukan. Tapi kami lahir dari mufakat, bukan titah. Dari Pariangan di lereng Marapi , para ninik mamak pertama kali berseru — bukan untuk memerintah, tapi untuk menyepakati.
Kami punya suku sebelum kami punya batas wilayah.
Kami punya rumah gadang sebelum kami tahu apa itu istana.
Dan kami punya adat, sebelum orang luar memberi kami bendera.
Selalu ada dorongan untuk menaklukkan. Maka datanglah narasi besar, peta kekuasaan, dan gelar raja yang dicari-cari. Pagaruyung pun dijadikan pusat, istana dijadikan lambang, padahal ia hanyalah simpul dari perjalanan yang lebih purba.
Minangkabau tak mengenal raja tunggal.
Karena kami tahu: kekuasaan yang tak terbagi, cepat menjadi api.
Maka kami pilih Rajo Tigo Selo, bukan untuk menjadikan tiga raja —
tetapi agar satu tak berkuasa atas semua.
Jika Minangkabau adalah cermin, maka yang terlihat bukan mahkota, melainkan surau. Bukan pasukan, melainkan dubalang. Bukan wilayah kekuasaan, melainkan batas malu dan harga diri.
Nagari kami tak digerakkan oleh komando, tapi oleh rasa tanggung jawab.
Yang dijunjung bukan pemilik tahta, tapi orang yang bisa menampung suara banyak.
Mungkin dunia bisa belajar dari kami:
bahwa masyarakat bisa tertib bukan karena takut,
tapi karena tahu malu.
Ketika orang luar datang membawa peta kerajaan, kami dianggap kurang lengkap. Tak ada istana, tak ada raja, tak ada perang besar yang dicatat. Tapi siapa bilang tanpa itu semua kami tak beradab?
Mereka mencari hierarki, kami menyuguhkan musyawarah.
Mereka mencari mahkota, kami menawarkan martabat.
Itulah mengapa kami tak gampang ditaklukkan — karena kami tidak hidup dalam kerangka yang bisa ditaklukkan.
Tapi hari ini, di negeri yang lebih besar, kita melihat sesuatu yang janggal:
banyak orang **naik tanpa ditinggikan,** dan **berkuasa tanpa dimufakati.**
Banyak yang **berdiri di atas tanah yang bukan miliknya,** dan menggerek kekayaan negeri seperti tikus menggerogoti lumbung.
Mereka tak tahu malu, karena mereka tak tumbuh dalam rasa.
Mereka bicara tentang bangsa, tapi tak belajar dari nagari.
Jika kita bertanya: “Apa gunanya adat tanpa kekuasaan?”
Maka kami menjawab: “Apa artinya kekuasaan tanpa adat?”
Minangkabau mengajarkan, bahwa kehidupan tidak harus diatur dari atas,
tapi bisa tumbuh dari bawah — dari rasa, dari mufakat, dari malu.
Tapi lihatlah kini: rasa malu ditukar dengan kelicikan,
mufakat digantikan oleh transaksi,
dan kepemimpinan diisi oleh orang yang **naik bukan karena pantas, tapi karena punya jalan pintas.**
Maka pertanyaan batin kita harus kembali menggema:
> *Apakah negeri ini masih punya tempat untuk yang tahu diri?*
> *Atau hanya memberi ruang bagi yang tahu cara menyiasati aturan?*
Minangkabau tidak pernah menjadi kerajaan — dan karena itu, ia tak pernah runtuh.
Ia tidak berdiri sebagai bangunan, tapi tumbuh sebagai cara hidup.
Kami tidak hidup untuk mencari singgasana,
tapi untuk menjaga martabat di tengah orang banyak.
Karena dalam adat kami,
**tak ada yang tinggi melainkan ditinggikan, walau hanya seranting.**
**Tak ada yang lebih dulu, melainkan hanya didahulukan, walau hanya selangkah.**
Mungkin bangsa ini lupa pada prinsip itu.
Mungkin terlalu banyak orang **berdiri tinggi karena dibayar, bukan karena dimuliakan.**
Tapi kami masih percaya:
selama ada yang menjaga malu,
selama ada yang mendengar kata dari surau,
selama masih ada yang berjalan dengan kepala tegak tapi hati tunduk —
harapan belum punah.
### **Catatan dari Penulis**
Tulisan ini tidak lahir dari perpustakaan asing.
Ia tumbuh dari suara mamak di rumah gadang,
dari sunyi surau setelah maghrib,
dari obrolan di kedai kopi pagi,
dan dari tanah yang saya pijak sejak kecil.
Saya tak butuh kutipan untuk menyebut siapa kami.
Karena Minangkabau tak butuh dikenalkan dari luar.
Kami adalah naskah hidupnya itu sendiri.
 **Armunadi**
Komentar
Posting Komentar