Trisintesis Kebangsaan: Menjaga Api, Bukan Abu
Trisintesis Kebangsaan: Menjaga Api, Bukan Abu
Kabut tipis menggantung di antara pepohonan, dan di sebuah lapangan kecil, sekelompok anak berseragam putih merah berdiri berbaris. Sepatu mereka mungkin tak mengilap, beberapa bahkan mulai robek di ujungnya, tapi mata mereka memandang tiang bendera dengan kesungguhan yang membuat dada kita panas-dingin.
Di kejauhan, seorang kakek mengenakan peci hitam lusuh, berdiri tegap sambil menyanyikan “Indonesia Raya” tanpa melihat teks. Suaranya serak, tapi setiap kata seperti keluar dari tempat yang lebih dalam dari sekadar kerongkongan—dari sebuah janji lama yang belum tuntas.
Sejak proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, pertanyaan terbesar kita bukan hanya “bagaimana merebut kemerdekaan,” tapi “bagaimana mengisinya.” Banyak pikiran besar lahir dari masa itu, menawarkan jalan yang berbeda-beda, semua dengan niat yang sama: memastikan negeri ini berdiri tegak, makmur, dan bermartabat.
Dalam jejak sejarah, ada benang merah: bangsa ini butuh tiga kekuatan yang berjalan bersama. Pertama, nasionalisme yang menjaga kedaulatan dari segala bentuk penjajahan baru. Kedua, keadilan sosial yang memastikan setiap warga merasakan hasil kemerdekaan. Ketiga, moralitas-spiritual yang mengawal agar kekuasaan tetap berpihak pada rakyat, bukan pada kerakusan.
Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa ketiga pilar ini tidak selalu sejalan. Nasionalisme kadang berubah menjadi sekadar slogan yang membenarkan kekuasaan otoriter. Keadilan sosial sering diabaikan demi pertumbuhan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir. Sementara moralitas-spiritual, alih-alih menjadi cahaya, bisa disempitkan menjadi alat legitimasi yang kering dari kasih.
Di titik ini, kita melihat tarikan yang konstan—antara ideal dan realita, antara janji dan pelaksanaan. Bendera berkibar di tiang, tetapi di tanah, rakyat masih berjuang untuk sesuap nasi. Di podium upacara, pidato tentang persatuan diucapkan, tapi di ruang-ruang rapat kekuasaan, kepentingan pribadi lebih lantang berbisik.
Hari kemerdekaan adalah sebuah cermin raksasa. Ketika kita menatapnya, wajah para pejuang masa lalu muncul samar—mereka yang menukar masa mudanya dengan kemerdekaan kita hari ini. Tapi di sela bayangan mereka, ada wajah kita sendiri, menatap balik dengan pertanyaan yang tak nyaman: “Apakah kita sudah menjaga warisan ini dengan layak?”
Bagi sebagian orang, cermin itu memantulkan kebanggaan: jalan-jalan yang lebih ramai, gedung-gedung yang menjulang. Bagi sebagian lainnya, ia memantulkan kekecewaan: kesenjangan yang makin lebar, janji kemerdekaan yang terasa milik orang lain.
Lihatlah ke pelosok negeri. Ada sekolah yang temboknya nyaris runtuh, tapi anak-anak tetap datang, duduk di kursi reyot, menyalin pelajaran dengan pensil yang sudah pendek. Ada desa yang belum pernah melihat cahaya listrik, di mana malam begitu gelap hingga bintang pun terlihat lebih banyak—tapi bukan karena romantis, melainkan karena lampu tak pernah ada.
Di sisi lain, ada gedung-gedung kaca di kota yang dipenuhi rapat-rapat mahal, pesta perayaan, dan anggaran yang lebih besar dari kebutuhan hidup satu kampung selama setahun. Keadilan sosial terasa seperti hiasan di atas kue—indah, tapi jarang bisa dimakan oleh mereka yang lapar.
Pertanyaannya sederhana, tapi menohok: apakah kemerdekaan berarti membiarkan saudara-saudara kita tetap tertinggal? Apakah kita rela bahwa di bawah kibaran bendera yang sama, ada yang hidup berlimpah dan ada yang mengais remah?
Kita bisa berdebat tentang strategi pembangunan, kebijakan ekonomi, atau arah politik luar negeri. Tapi di ujung hari, nurani kita akan bertanya: “Apakah ini adil?” Dan jika jawabannya “tidak,” maka diam adalah pengkhianatan.
Trisintesis Kebangsaan menawarkan jalan lurus: nasionalisme yang menjaga tanah air dari segala bentuk penjajahan, keadilan sosial yang membagi hasil kemerdekaan secara merata, dan moralitas-spiritual yang memastikan semua dijalankan dengan hati yang bersih.
Jika ketiganya tegak bersama, kita bukan hanya merdeka di atas kertas, tapi juga di hati setiap rakyat. Kita akan menjadi bangsa yang menjaga api, bukan sekadar abu—api yang menyala di dada anak-anak sekolah di pelosok, di tangan petani yang menanam padi, di keringat nelayan yang menantang ombak, dan di napas para pemimpin yang jujur.
Maka, saat bendera itu naik ke puncak tiang 17 Agustus nanti, mari kita ikrarkan janji yang tak kalah sakral dari proklamasi: bahwa kemerdekaan ini adalah milik semua, dan kita akan menjaganya dengan keberanian, keadilan, dan kejujuran—hingga generasi yang akan datang bisa menatap cermin sejarah dan berkata dengan yakin, “Kami telah mewarisi api yang sama.”
Komentar
Posting Komentar