Bukit Siguntang di Kaki Marapi: Tafsir Tandingan Asal Usul Melayu
### Bukit Siguntang di Lereng Marapi: Tafsir Tandingan Asal Usul Melayu
Pernahkah kita bertanya, mengapa narasi tentang Bukit Siguntang begitu kuat dalam cerita-cerita Melayu, tetapi begitu samar dalam jejak tapaknya? Di Palembang, Bukit Siguntang dipercaya sebagai tempat suci, tempat turun para raja, tempat asal usul keturunan bangsawan Melayu. Namun di Minangkabau, nama itu juga muncul — tidak sebagai dongeng pinggiran, tetapi sebagai bagian dari tubuh tambo yang hidup dan diwariskan turun-temurun.
Dalam dokumen sejarah lokal yang ditulis oleh masyarakat Jorong Batur, Tanah Datar, disebutkan dengan jelas:
“Perkampungan baru di Galundi Nan Baselo yang disebut juga Bukit Siguntang-guntang Gunung Merapi atau Bukit Siguntang-guntang Mahameru, sekitar abad ke-14...”
Penyebutan *Bukit Siguntang-guntang Gunung Merapi* adalah penanda penting. Ia bukan sekadar tumpukan tanah suci, tapi tempat di mana **laku sejarah dan jejak budaya bermula**. Di sinilah — menurut tambo Minangkabau — nenek moyang pertama membuka tapak kehidupan, menuruni lereng Marapi, menyusur batang-batang sungai besar yang kelak menjadi jalur perdagangan dan kekuasaan Sriwijaya.
### Dari Hulu ke Hilir: Membalik Arah Asal Usul
Bila kita mengikuti logika tambo Minangkabau, sejarah tidak mengalir dari pesisir ke gunung. Justru sebaliknya. Masyarakat pertama membuka ladang dan dusun di sekitar Marapi — gunung api yang memberi tanah subur, air yang turun dari kabut, dan kepercayaan yang tertanam dalam relung adat.
Dari sanalah muncul istilah *“turun ka batang”*, ekspresi yang dalam tambo berarti ekspansi — bukan pelarian. Bukti-bukti arkeologi memperkuat ini: situs-situs megalitik, pola ukiran tua, sistem kepemimpinan matrilineal dan struktur sosial egaliter — semuanya muncul terlebih dahulu di dataran tinggi Sumatera Barat sebelum kerajaan pesisir seperti Sriwijaya tumbuh.
Bukit Siguntang di Palembang mungkin menjadi pusat politik kemudian, tetapi **pusat budaya dan nilai** tumbuh di *Galundi Nan Baselo* — bagian dari Gunung Marapi. Di sinilah penghulu pertama diangkat, sistem suku ditetapkan, dan adat nan sabana adat dirumuskan dalam mufakat yang tidak tertulis tetapi mengikat.
### Simbol, Bukan Sekadar Tapak
Sebagaimana Mahameru dalam mitologi Hindu adalah simbol gunung agung tempat para dewa bertahta, *Bukit Siguntang-guntang* juga merupakan simbol spiritual tentang **keagungan asal-usul**. Maka wajar jika simbol ini dimiliki oleh berbagai kebudayaan yang berakar dari wilayah Sumatra kuno.
Namun ketika simbol itu **disematkan secara tunggal di Palembang**, maka kita kehilangan **kemungkinan tafsir yang lebih dalam dan lebih purba**. Sebab dalam tambo Minangkabau, Bukit Siguntang bukanlah tempat yang ditunjuk jari di peta, melainkan **tempat yang hidup dalam kesadaran kolektif**: tempat mula, tempat marwah, tempat yang diturunkan nilai, bukan sekadar nama.
### Dapunta Hyang dan Akar Hulu Sriwijaya
Salah satu tokoh paling penting dalam sejarah awal Asia Tenggara adalah **Dapunta Hyang**, pendiri Kerajaan Sriwijaya. Dalam Prasasti Kedukan Bukit (682 M), disebutkan bahwa ia memimpin sebuah ekspedisi besar dari “Minanga Tamwan.” Sebagian besar sejarawan mengasumsikan Minanga Tamwan berada di sekitar Palembang, namun tidak sedikit pula yang mempertanyakan lokasinya.
Kata "Minanga" berarti "pertemuan dua batang sungai" — dan kawasan seperti ini banyak ditemukan di dataran tinggi Sumatra Barat, khususnya di sekitar Gunung Marapi. Jika digabungkan dengan tambo Minangkabau yang mencatat ekspansi ke hilir melalui istilah "turun ka batang," maka kuat dugaan bahwa ekspedisi Dapunta Hyang justru **berasal dari hulu** — dari kawasan budaya Minangkabau — menuju pesisir.
Lebih menarik lagi, gelar "Dapunta" dan "Hyang" adalah istilah yang lebih dekat secara budaya dengan kosmologi spiritual masyarakat gunung dan hulu, daripada masyarakat pesisir Melayu. Sementara di Palembang tidak ditemukan tradisi matrilineal, Minangkabau justru memegang teguh sistem tersebut hingga kini — dan struktur sosial ini menunjukkan kesinambungan nilai dan kepemimpinan dari masa yang sangat tua.
Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa **Sriwijaya bukanlah asal dari Minangkabau**, melainkan **cabang besar yang tumbuh dari akar budaya yang lebih tua di kaki Gunung Marapi**. Dan tokoh seperti Dapunta Hyang dapat dibaca sebagai representasi dari migrasi nilai dan kekuasaan dari dataran tinggi ke dataran rendah — dari Minangkabau ke Melayu.
### Kesimpulan: Menempatkan Kembali Bukit Siguntang
Membaca Bukit Siguntang sebagai bagian dari Gunung Marapi adalah upaya **mengangkat kembali tafsir lokal yang selama ini dikesampingkan oleh sejarah resmi**. Ini bukan sekadar koreksi lokasi, tapi penegasan bahwa Minangkabau — sebagai masyarakat matrilineal tertua di Asia Tenggara — bukan cabang dari Sriwijaya atau Melayu Palembang, melainkan **akar** yang darinya cabang-cabang itu tumbuh.
Bila tambo adalah cermin, maka mungkin inilah saatnya kita bertanya:
**Bukit Siguntang itu di mana? Di Palembang, atau di tempat nilai pertama ditanamkan?**
Komentar
Posting Komentar