Urang Ampek Jinih: Penjaga Arah Rumah Gadang

Bayangkan rumah gadang tanpa gonjong, seperti langit tanpa arah angin. Di dalamnya, suara alu dan canda anak kemenakan tak lagi diiringi bayang perlindungan. Dalam sunyi kampung yang sepi dari keputusan, kita mulai merindukan sosok-sosok yang dulu berdiri di puncak rumah gadang—menjaga tegaknya adat, menimbang benar dan salah, menegur dengan malu, dan memeluk dengan marwah.

Minangkabau menempatkan kepemimpinan adat tidak di tangan satu orang, tapi dalam empat unsur yang disebut Urang Ampek Jinih: Penghulu, Malin, Manti, dan Dubalang. Mereka bukan pembagian kekuasaan, melainkan perwujudan keseimbangan dalam menata hidup bersama.

"Penghulu menghukum sepanjang adat, Malin sepanjang syarak, Manti sepanjang sangketo, Dubalang satuhuak padang."

Pilar ini telah dirumuskan sejak era Datuk Ketemanggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang, sebagai pengikat antara nilai dunia dan akhirat, antara keadilan dan ketertiban, antara rasa dan kuasa.

Namun hari ini, banyak fungsi itu kosong. Malin tidak lagi membimbing akhlak kampung, kadang hanya menjadi juru doa. Manti tak lagi punya ruang dalam menyaring sangketo atau menjadi pelindung adat dalam perdebatan. Dubalang, simbol keamanan kampung, lumpuh di hadapan aturan hukum negara. Dan Penghulu, seringkali hanya hadir sebagai hiasan, bukan penentu arah.

Ketika satu puncak rumah gadang retak, seluruh tubuhnya gemetar. Ketika empat unsur tak bersuara, kampung kehilangan nada.

Dalam kaca ini, masyarakat pun turut bercermin. Kita telah menggeser penghormatan dari fungsi ke gelar. Kita lebih sibuk dengan pesta peresmian gelar, daripada memelihara peran. Apakah ini juga cermin bahwa masyarakat tak lagi mengenal arah yang seharusnya dijaga oleh empat jinih itu?

Yang pandai membaca hukum adat, tak punya tempat karena tak bergelar. Yang punya gelar, kadang tak tahu apa makna mufakat. Malin dipanggil saat maaf diminta, tapi tidak dilibatkan saat nilai dilanggar. Dubalang hanya ditampilkan saat festival budaya, bukan saat anak nagari kehilangan arah.

Apakah kita mau membiarkan rumah gadang berdiri tanpa puncak? Apakah kita rela melihat adat kehilangan poros keseimbangan? Jika Urang Ampek Jinih adalah bentuk kecerdasan sosial nenek moyang kita, mengapa kita sendiri melepasnya perlahan?

Sudah saatnya kita tidak sekadar memanggil nama mereka dalam acara—tapi menghidupkan kembali fungsinya dalam keseharian. Penghulu yang berpijak pada adat, Malin yang membimbing syarak, Manti yang menimbang dengan akal sehat, Dubalang yang menjaga nagari bukan dengan kekerasan, tapi dengan kewibawaan.

Sebab rumah gadang itu bisa saja beratap tinggi, namun bila empat puncaknya kosong, ia tak lagi tahu ke mana hendak menghadap.

Dan Minangkabau, tanpa arah dari Urang Ampek Jinih, bukan hanya kehilangan bentuk—tapi kehilangan jiwa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Review Puisi Esai “Nasionalisme di Era Algoritma” oleh Denny JA

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia