Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia

Dalam dunia seni pertunjukan, setiap gerakan memiliki makna, dan setiap kelompok seni memiliki sejarahnya sendiri. Namun, hanya sedikit yang mampu melampaui batasan lokal dan menjadi ikon global. Balet lahir di Prancis, butoh berkembang di Jepang, dan flamenco mengakar di Spanyol. Semua bermula dari ekspresi budaya yang khas, tetapi kemudian menjelma menjadi bahasa universal yang dikenal dan dipelajari di seluruh dunia.

Nan Jombang Dance Company, di bawah kepemimpinan Ery Mefri, telah menapaki jalur yang sama. Dengan filosofi gerak yang berakar pada tradisi Minangkabau dan eksplorasi koreografi kontemporer, Nan Jombang telah menorehkan jejak yang kuat di kancah seni internasional. Namun, perjalanan ini belum selesai. Tantangan demi tantangan muncul: dari regenerasi internal, hingga pola yang berulang—di mana orang-orang yang belajar dari Nan Jombang kemudian memisahkan diri dan membentuk kelompok sendiri.

Kini saatnya menetapkan sasaran yang lebih besar. Bukan sekadar mempertahankan eksistensi, tetapi melampaui batas dan menjadikan Nan Jombang sebagai ikon seni pertunjukan dunia.

Nan Jombang dan Tantangan Regenerasi
Setiap ekosistem seni membutuhkan regenerasi untuk bertahan. Kesadaran ini telah dimiliki oleh Ery Mefri, yang kini mulai menyerahkan sebagian proses kreatif kepada putranya, Rio Mefri. Ini adalah langkah penting, tetapi regenerasi harus lebih dari sekadar penerusan peran dari ayah ke anak. Nan Jombang membutuhkan sistem kaderisasi yang lebih luas dan berkelanjutan, yang memungkinkan lebih banyak orang memahami dan meneruskan filosofi seni ini tanpa kehilangan jati dirinya.

Namun, pengalaman pahit masa lalu menunjukkan bahwa upaya berbagi ilmu sering kali berujung pada kekecewaan. Sekolah seni di Sumatra Barat menolak Ery Mefri, bahkan oleh orang-orang yang pernah dididiknya. Begitu pula individu-individu yang bergabung dengan Nan Jombang; setelah merasa cukup kuat, mereka memilih jalan sendiri. Ini bukan sekadar persoalan individual, tetapi gambaran dari realitas sosial yang lebih luas—budaya egaliter yang kuat membuat setiap orang ingin menjadi "kutub" sendiri.

Tetapi apakah ini berarti Nan Jombang harus berhenti berbagi? Tidak. Justru inilah yang harus diatasi.

Melampaui Sekadar Grup Seni: Menuju Sebuah Kutub Besar
Jika pola perpecahan adalah sesuatu yang sulit dihindari, maka solusi terbaik bukanlah mencoba mempertahankan individu-individu di dalam Nan Jombang, melainkan memperluas cakupan pengaruhnya hingga menjadi pusat gravitasi bagi gerakan seni yang lebih besar.

Bayangkan jika setiap koreografer yang belajar dari Nan Jombang tidak sekadar menduplikasi atau berusaha membangun nama sendiri, tetapi tetap berafiliasi dengan sebuah institusi atau filosofi besar yang mereka banggakan. Dalam sejarah seni, ini bukan hal baru. Balet, butoh, dan flamenco tidak lagi hanya tentang satu kelompok atau satu nama, tetapi telah menjadi metode, filosofi, dan gaya seni yang terus berkembang.

Nan Jombang harus berada di jalur yang sama. Bukan lagi sekadar grup tari, melainkan menjadi sebuah "kutub" besar yang mencetak generasi-generasi baru, tanpa harus kehilangan identitasnya.

Ikon Seni Tidak Sekadar Bertahan, Tetapi Berkembang
Menjadi ikon bukan hanya soal dikenal luas, tetapi juga soal memastikan warisan seni tetap relevan dan berkembang. Dalam dunia tari, ada banyak contoh bagaimana sebuah gaya berkembang tanpa kehilangan esensinya.

Balet tidak lagi hanya milik Prancis; ia berkembang dengan berbagai gaya seperti balet Rusia, balet Amerika, hingga neoklasik.
Butoh tidak berhenti pada Hijikata dan Ohno; ia menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai interpretasi yang tetap mempertahankan filosofi awalnya.
Flamenco tidak mati dengan para maestro terdahulu, tetapi terus berinovasi, bahkan berkolaborasi dengan genre musik lain seperti jazz dan elektronik.
Nan Jombang memiliki potensi yang sama. Untuk menjadi ikon, ia tidak hanya harus mempertahankan bentuknya saat ini, tetapi juga membuka ruang bagi inovasi yang tetap berakar pada filosofi dasarnya.

Ery Mefri telah membangun pondasi yang kuat. Nan Jombang sudah memiliki museum tari yang menyimpan jejak sejarahnya—ini bukan sekadar tempat dokumentasi, tetapi bisa menjadi pusat edukasi yang menginspirasi generasi baru. Dengan sistem yang lebih terbuka dan terstruktur, bukan tidak mungkin teknik dan filosofi Nan Jombang suatu hari nanti diajarkan di berbagai akademi seni dunia, seperti halnya balet dan butoh.

Menutup Siklus dan Membuka Era Baru
Setiap gagasan besar pasti menghadapi keraguan. Apakah mungkin Nan Jombang menjadi ikon global? Apakah tidak terlalu ambisius? Tetapi sejarah seni menunjukkan bahwa setiap gerakan besar dimulai dari keyakinan yang sama: bahwa sesuatu yang unik dari satu daerah bisa menjadi bagian dari bahasa seni dunia.

Kini saatnya Nan Jombang berpikir melampaui sekadar eksistensi sebagai grup tari. Ia harus menjadi sebuah "kutub" seni yang lebih besar, yang mampu mencetak kader tanpa kehilangan identitas, yang tetap menjadi sumber utama inspirasi bagi gerakan seni baru.

Karena pada akhirnya, seni yang bertahan bukanlah yang sekadar mempertahankan bentuknya, tetapi yang mampu menjadi sumber energi bagi generasi-generasi berikutnya.

Dan Nan Jombang memiliki semua yang dibutuhkan untuk itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Dari Bayang ke PBB: Jejak Perjuangan H. Ilyas Yakoub