Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Taman Budaya, sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2018, memiliki mandat yang jelas dalam pengembangan dan penyajian seni dan budaya, ketatausahaan, serta pelayanan masyarakat. Sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di bawah Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, Taman Budaya mengemban fungsi strategis sebagai laboratorium seni, pusat apresiasi budaya, dan wadah pengembangan kreativitas. Lembaga ini berperan penting dalam melestarikan warisan budaya sekaligus membentuk karakter masyarakat melalui seni.

Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa fungsi strategis tersebut belum dijalankan secara optimal. Indikasi meningkatnya kenakalan remaja, misalnya, mencerminkan minimnya upaya pendidikan berbasis kebudayaan yang berorientasi pada pembentukan karakter generasi muda. Dalam konteks ini, Taman Budaya seharusnya mengambil peran sentral sebagai sarana pendidikan kebudayaan yang mampu memperkuat nilai-nilai lokal sekaligus membangun identitas generasi yang lebih baik.

Paradigma Pemerintah dan Tantangan Pengelolaan

Keputusan pemerintah daerah untuk memonetisasi lahan Taman Budaya menjadi hotel berbintang memperkuat persepsi bahwa lembaga ini tidak memberikan kontribusi signifikan. Taman Budaya dianggap "lahan tidur" yang tidak menghasilkan nilai ekonomi maupun dampak sosial yang terukur. Paradigma ini, meskipun pragmatis, mengabaikan potensi jangka panjang Taman Budaya sebagai pusat pelestarian dan inovasi seni budaya.

Fasilitas gedung untuk pertunjukan, ruang ruang latihan dan pasar seni, yang diruntuhkan sejak tahun 2015 dengan janji pembangunan gedung baru, hingga kini tak kunjung terwujud. Perjalanan proyek pembangunan ini penuh dinamika, mulai dari kontraktor yang gagal melanjutkan pekerjaan hingga perubahan orientasi pemerintah daerah. Akibatnya, Taman Budaya kehilangan daya dukung infrastruktur yang memadai untuk menjalankan program-programnya.

Tantangan semakin besar dengan minimnya alokasi anggaran. Bahkan, anggaran yang kecil tersebut harus dipotong hingga 20–30 persen untuk biaya perjalanan dinas pejabat. Pendekatan anggaran berbasis "pokok pikiran" (pokir) anggota DPR lebih berorientasi pada proyek jangka pendek daripada strategi kebudayaan jangka panjang.

Kelemahan Manajerial dan Kurangnya Pelibatan Stakeholder

Masalah utama lainnya adalah kelemahan manajerial. Mayoritas pegawai Dinas Kebudayaan tidak memiliki latar belakang seni dan budaya. Kepala dinas maupun kepala Taman Budaya sering kali adalah mereka yang mendekati masa pensiun dan tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang kebudayaan. Kondisi ini bukan hanya mencerminkan lemahnya kapasitas manajemen, tetapi juga menunjukkan kurangnya "visi budaya" dalam pengelolaan lembaga strategis ini.

Selain itu, perencanaan program-program Taman Budaya sering kali dilakukan tanpa melibatkan seniman lokal, komunitas seni, maupun masyarakat. Tidak adanya diskusi internal yang mendalam atau evaluasi dampak program membuat banyak inisiatif tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat dan kehilangan daya tariknya.

Pelibatan seniman lokal, komunitas seni, dan masyarakat sebenarnya merupakan langkah strategis untuk memastikan relevansi dan keberhasilan fungsi Taman Budaya. Program yang dirancang dengan melibatkan mereka tidak hanya mencerminkan kebutuhan dan aspirasi lokal, tetapi juga memperkuat identitas budaya daerah secara autentik. Kolaborasi ini dapat meningkatkan kualitas dan daya tarik kegiatan, sekaligus memperkuat rasa memiliki masyarakat terhadap program-program tersebut.

Transformasi Taman Budaya untuk Masa Depan

Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan perubahan paradigma dalam pengelolaan Taman Budaya. Pemerintah harus memprioritaskan pembangunan kebudayaan sebagai bagian integral dari pembangunan karakter bangsa. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:

Reformasi Manajemen: Menempatkan individu dengan kompetensi seni dan budaya di posisi strategis, termasuk kepala dinas dan kepala Taman Budaya.

Peningkatan Anggaran: Mengalokasikan dana yang cukup untuk pengembangan program, dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

Pelibatan Stakeholder: Mengundang seniman, komunitas seni, dan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program.

Pemanfaatan Teknologi: Mengembangkan platform digital untuk mendokumentasikan, mempromosikan, dan mengapresiasi seni budaya lokal.

Taman Budaya memiliki potensi besar untuk menjadi laboratorium seni sekaligus etalase kebudayaan daerah. Dengan strategi yang tepat, institusi ini dapat kembali pada esensinya sebagai pusat pelestarian seni budaya yang menginspirasi dan membangun karakter bangsa. Jika perubahan signifikan dilakukan, Taman Budaya tidak hanya akan menjadi kebanggaan daerah, tetapi juga model pengelolaan kebudayaan yang berkelanjutan di tingkat nasional.◾Armunadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia

Dari Bayang ke PBB: Jejak Perjuangan H. Ilyas Yakoub