Mengukur Kebaikan: Antara Ibadah dan Akhlak, Antara Simbol dan Hakikat
Di warung kopi, di beranda media sosial, atau di sela obrolan santai, kita sering mendengar keluhan yang terdengar seperti gugatan:
“Buat apa rajin salat kalau akhlaknya buruk? Lebih baik saya yang tidak salat, tapi tidak menyakiti siapa-siapa.”
Ini bukan sekadar komentar emosional, tapi cermin kegelisahan zaman. Banyak orang—terutama generasi muda—sedang berhadapan dengan jurang antara simbol agama dan perilaku sosial. Mereka menyaksikan orang yang rajin shalat tapi ringan menindas, atau tokoh agama yang fasih bicara soal surga, tapi pelit dalam empati.
Lalu muncul dikotomi palsu: antara ritual dan moralitas, antara salat dan kebaikan, antara puasa dan kejujuran. Seakan-akan keduanya bertentangan.
Padahal, dalam Islam—keduanya bukan lawan, melainkan satu tarikan napas. Shalat dan akhlak adalah dua sisi dari jalan yang sama: jalan menjadi manusia yang sadar, merdeka, dan kembali kepada hakikat dirinya.
“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini sering dibaca terburu-buru, seolah ibadah hanya berarti salat, puasa, zakat, haji. Padahal kata “ibadah” di sini bermakna pengabdian total. Termasuk amal sosial, kerja profesional, mendidik anak, merawat bumi—jika semua itu dilakukan dengan orientasi ruhani.
Rasulullah SAW mengingatkan:
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.”
Ini bukan sekadar hafalan. Ini adalah pengingat bahwa setiap perbuatan harus ditujukan pada sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar penilaian sosial.
Niat yang lurus adalah niat yang mengarah kepada Allah—yakni kesadaran untuk menjalankan fungsi kekhalifahan dan pengabdian kepada-Nya.
Dalam pengertian ini, istilah “karena Allah” tidak selalu harus dipahami secara abstrak. Ia bisa dimaknai sebagai:
“Saya melakukan ini karena saya ingin menjalankan tugas sebagai hamba dan wakil-Nya di bumi.”
Masalahnya adalah: banyak yang mengaku “melakukan ini karena Allah”, tapi apakah pengakuan itu tumbuh dari kesadaran spiritual, atau hanya dari kesadaran intelektual?
🔹 Kesadaran intelektual lahir dari bacaan, diskusi, dan hafalan. Ia bisa menjelaskan dalil, tapi belum tentu hidup di dalamnya.
🔹 Kesadaran spiritual tumbuh dari laku, dari kesunyian yang jujur, dari rindu akan Yang Maha. Ia tidak banyak bicara, tapi diamnya membawa cahaya.
Salat, puasa, zakat, dan haji bukanlah formalitas kosong, melainkan jalan untuk mengasah batin, agar orientasi hidup tidak melenceng. Ini adalah latihan untuk membersihkan hati, menumbuhkan kesadaran, dan menghidupkan kembali benih-benih ruhani yang telah lama tertimbun kabut dunia.
Maka dari itu, agama tidak hadir untuk mempertentangkan antara hablum minallah dan hablum minannas, antara hubungan dengan Tuhan dan sesama. Justru dalam tafsir terdalamnya, agama ingin menyatukan keduanya menjadi orientasi hidup yang utuh: dari Tuhan, oleh Tuhan, untuk Tuhan—lewat sesama, lewat bumi, lewat laku harian.
Kita tidak diminta memilih antara menjadi baik di mata manusia atau dekat di mata Tuhan.
Kita diminta membangun jiwa untuk tumbuh—agar tahu dari mana ia datang dan ke mana akan pulang.
Seperti tanah yang menyimpan benih, hidup ini hanyalah ladang. Yang kita tanam selama hidup di dunia, akan tumbuh menjadi hakikat diri kita di dimensi lain: dimensi akhirat. Diri yang mengenal Tuhannya, atau diri yang buta akan hakikatnya sendiri.
"Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh ia akan hidup dalam kesempitan dan dibangkitkan dalam keadaan buta." (QS. Thaha: 124)
Buta bukan karena matanya tak melihat, tapi karena hatinya tak tahu arah. Ia tampak baik, tapi tak mengenal ke mana semua kebaikannya bermuara. Ia menolong orang, tapi bukan untuk ibadah—melainkan karena ingin merasa cukup. Ia berbuat baik, tapi tidak bertumbuh.
Ada orang yang menanam pohon, membantu sesama, menolak ketidakadilan—tapi tidak menyentuh dimensi ibadah . Lalu, benarkah kebaikan itu cukup?
Jawabannya bisa ya—jika kebaikan itu membawa kesadaran ruhani. Tapi bisa juga tidak—jika kebaikan itu menjadi kebanggaan kosong. Bahkan menjadi kabut yang menutupi arah pulang.
Sebab kebaikan sejati bukan hanya tentang apa yang dilakukan, tapi mengapa itu dilakukan. Dan dalam pandangan Islam, kebaikan paling luhur adalah yang dilakukan sebagai bentuk pengabdian kepada Allah—yakni kesadaran bahwa hidup ini bukan milik kita, melainkan amanah untuk mengenal dan mengabdi.
Dan akhirnya, kita akan ditanya, bukan hanya seberapa baik kita terlihat, tapi seberapa gigih kita menyingkap kabut dunia untuk mencari jalan pulang.
🟤 Penutup: Napas, Tangga, dan Ruang Pulang
Hidup bukan tentang membandingkan ibadah dan akhlak, melainkan tentang menyatukan keduanya dalam kesadaran batin. Ibadah adalah alat, bukan prestasi. Akhlak adalah buah, bukan panggung. Dan spiritualitas bukan sekadar pengetahuan, tapi perjalanan pulang di jalan yang terang dan sepi.
Karena hanya satu hal yang akan tetap tinggal: jiwa yang kembali dengan lapang, jernih, dan sadar.
Satu napas.
Satu tangga.
Satu arah pulang.
Menuju Dia.
Komentar
Posting Komentar