Martabat Penghulu dalam Adat Minangkabau ...
Dalam adat Minangkabau, penghulu bukan sekadar pemegang gelar; ia adalah penjaga marwah, penyambung nilai, dan pelindung kaumnya. Ia berdiri di atas prinsip *tinggi dek dianjuang, gadang dek diamba, tajadi dek mufakat.* Jabatan penghulu bukan warisan sembarang, melainkan bentuk pengakuan kolektif atas kualitas pribadi dan kesetiaan terhadap adat yang hidup.
Dalam tambo, penghulu adalah batang kayu besar di tengah padang:
> Batangnyo tempat basanda, dahannyo tampek bagantuang, uratnyo tampek baselo, daunnyo tampek balinduang.
Dalam narasi ini terkandung harapan besar: bahwa penghulu menjadi tempat berpaut harapan anak kemenakan, tempat mufakat kaum, serta pengatur hubungan antara manusia dan nilai.
Namun, setelah membaca kembali dokumen “Sejarah Minangkabau”, kita mendapati bahwa fungsi penghulu tak selalu hadir sebagai kenyataan. Ketimpangan sosial, tekanan hukum negara terhadap tanah ulayat, serta arus modernisasi menyebabkan penghulu kerap berada di persimpangan. Bahkan, seperti yang ditunjukkan dalam dokumen sejarah tersebut, peran penghulu kini seringkali disempitkan atau terdegradasi, terutama di daerah rantau dan kota. Padahal, dari awalnya penghulu diangkat dengan kesepakatan suku, kini terkadang hanya diwariskan atau bahkan dibeli.
Adat sabana adat menempatkan penghulu dalam sistem yang seimbang bersama Malin, Dubalang, dan Manti. Tapi sistem ini tak lagi utuh di semua nagari. Di beberapa tempat, penghulu hanya simbol dalam acara, bukan sosok yang mengakar dalam keseharian.
Melihat perkembangan ini, perlu dikembalikan pemahaman bahwa penghulu bukan semata pewaris gelar, tapi pemilik nilai.
Seorang penghulu dituntut untuk memahami:
- Kato nan ampek (pusako, mufakat, dahulu, dan kudian),
- Jalan nan luruih: dunia dan akhirat,
- Alur nan patuik: musyawarah, rasa, dan keadilan.
Dengan memahami ulang konteks sejarah dan tantangan modern, kita perlu menyusun ulang peran penghulu, bukan sebagai peninggalan masa lalu, tapi sebagai mediator zaman. Ia bukan lawan dari negara, tapi jembatan nilai lokal dan sistem nasional. Ia bukan tokoh seremoni, tapi penjaga moral masyarakatnya.
Maka martabat penghulu hari ini, tidak cukup dibangun oleh upacara pasambahan dan saluak tinggi, tapi oleh keberanian menyuarakan nilai, kepekaan atas perubahan zaman, dan keberanian menyambungkan akar lama ke batang baru.
Penghulu bukan hanya tokoh tradisi, ia adalah harapan bahwa nilai lokal bisa tetap bernapas di dunia yang berubah.
Dan jika martabatnya hendak dijaga, maka harus dimulai dari pendidikan nilai pada anak kemenakan, agar ketika kelak beringin tua rebah, sudah tumbuh tunas yang tahu arah.
Komentar
Posting Komentar