Sirkus Politik: Ketika Akrobat dan Ilusi Menjadi Agenda
Di sebuah panggung besar bernama negara, para pemain sirkus politik sibuk memperlihatkan keahliannya. Mereka melompat dari satu tali ke tali lainnya, dengan gaya penuh percaya diri, seolah tidak pernah gagal. Mereka memutar-mutar tongkat retorika, melemparkan janji-janji seperti bola di udara, dan sesekali menyulap anggaran dengan trik-trik yang membuat penonton terpana.
Tepuk tangan bergemuruh dari tribun, penuh kekaguman, meski tak semua sadar bahwa sebagian aksi hanyalah permainan ilusi. Para badut  menyeringai lebar, mengenakan kostum yang mencolok agar perhatian publik terpaku pada mereka. "Lihat kami!" seru mereka sambil melempar lelucon basi yang entah bagaimana masih berhasil membuat sebagian orang tertawa.
Namun, di sudut panggung, ada juga cambuk yang berayun. Ini bukan sekadar alat hiburan, melainkan simbol dari kekuasaan yang digunakan untuk mengatur dan mengendalikan. Ketika binatang sirkus melangkah keluar jalur, cambuk itu pun berbunyi. Mereka diatur untuk tetap patuh, tetap mengangguk.
Tentu, bukan berarti sirkus ini tanpa risiko. Kadang ada pemain yang jatuh dari tali, meski dengan cekatan mereka bangkit lagi seakan tidak pernah gagal. Publik yang kritis mungkin menyadari jatuhnya pemain itu, tapi ilusi yang diciptakan terlalu kuat. Sorotan lampu, asap warna-warni, dan narasi yang dibangun berhasil mengalihkan pandangan. "Lihat ke sana," kata sang pesulap sambil mengarahkan tongkatnya ke sebuah isu remeh. "Jangan lihat ke sini, kami sedang memperbaiki panggung yang hampir runtuh."
Namun, seperti halnya sirkus, selalu ada dua sisi dari pertunjukan ini. Para badut kadang tampil memukau, membuat kita tersenyum dengan kelincahan dan kreativitas mereka. Namun, ada kalanya mereka tergelincir, memperlihatkan kekurangan manusiawi yang sering kali tertutupi oleh lampu sorot.
Kenyataan ini mengingatkan kita bahwa tidak ada yang sempurna, termasuk mereka yang ada di panggung politik. Maka, kita harus belajar untuk melihat lebih jernih, tidak terperangkap dalam fanatisme. Bukan salah untuk mengapresiasi keberhasilan mereka, tapi penting juga untuk menyadari kekurangan yang ada, agar kita tidak menjadi penonton yang hanya terpukau oleh ilusi.
Sirkus akan terus berjalan, tapi kita punya pilihan: apakah kita hanya akan duduk dan bersorak tanpa berpikir, ataukah kita akan menjadi penonton yang bijaksana, yang memahami bahwa di balik setiap pertunjukan, selalu ada realitas yang harus kita pertimbangkan
Komentar
Posting Komentar