Di Atas Tambang Emas, Menggenggam Debu: Saat Jago Nagari Telah Binasa

“Saya pernah mengatakan bahwa seandainya korupsi di sektor pertambangan saja bisa dihapus, diberantas, maka setiap orang rakyat Indonesia itu bisa mendapat Rp 20 juta setiap bulan gratis. Bukan pinjaman, tapi diberikan.”
—Mahfud MD, Rumah Aspirasi Relawan Ganjar-Mahfud, Jakarta, 19 September 2023

Pernyataan Mahfud MD ini bukan sekadar retorika kampanye atau lontaran bombastis tanpa dasar. Ia adalah cermin getir dari kenyataan bangsa: negeri yang dikaruniai kekayaan alam berlimpah justru menyisakan jutaan rakyat yang hidup dalam kesulitan ekonomi. Seolah-olah kita sedang berdiri di atas tambang emas, tapi hanya menggenggam debu di tangan.

Ke mana larinya kekayaan itu?

Indonesia adalah tanah surga yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Cadangan batubara, emas, nikel, tembaga—semua tersedia dalam jumlah melimpah. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai produsen nikel terbesar di dunia, dengan cadangan mencapai 21 juta ton, atau 42% dari total global. Pada tahun 2024 saja, produksi batubara Indonesia menyentuh 836 juta ton, sebagian besar untuk ekspor. Namun, kemakmuran yang dijanjikan oleh kekayaan itu tak pernah benar-benar menyapa mayoritas rakyat. Sebaliknya, mereka yang tinggal di sekitar wilayah tambang masih berjibaku dengan kemiskinan, lingkungan rusak, dan ketimpangan sosial yang akut.

Dalam teori ekonomi, sumber daya alam adalah anugerah. Dalam praktik kekuasaan, ia kerap menjadi kutukan. Kekayaan itu terlalu menggoda bagi mereka yang duduk di tampuk kekuasaan, sehingga lebih sering dikelola dengan logika eksklusif dan serakah, ketimbang berlandaskan keadilan dan kearifan.

Potensi yang Melimpah, Manfaat yang Menguap

BUMN yang sejatinya menjadi ujung tombak ekonomi nasional pun tak luput dari masalah. Pertamina dan PLN, dua raksasa energi negara, berkali-kali dililit masalah kerugian, utang yang menumpuk, serta proyek-proyek gagal. Alih-alih menjadi instrumen kemakmuran rakyat, mereka justru menjadi simbol dari buruknya tata kelola dan lemahnya keberpihakan terhadap kepentingan publik.

Masalah terbesar bukan semata soal kapasitas, tetapi integritas. Korupsi, inefisiensi, dan kolusi telah menggerogoti tubuh negara. Sektor pertambangan yang seharusnya menjadi sumber pemasukan besar untuk negara, justru lebih banyak dikendalikan oleh segelintir korporasi besar—baik asing maupun dalam negeri—yang bersinergi dengan elite politik dan pejabat birokrasi.

Dalam pepatah Minangkabau, telah lama diingatkan:

“Gadang jan malendo, cadiak jan manjua.”
Besar jangan menghantam, cerdik jangan menjual.
Artinya: kekuasaan dan kecerdikan bukan untuk menindas dan menjual negeri, tetapi untuk melindungi dan mengangkat martabat rakyat.

Sayangnya, pepatah itu tinggal bunyi. Yang terjadi justru sebaliknya: kekuasaan menjadi alat untuk merampas, dan kecerdikan dipakai untuk menipu.

Jago Nagari Telah Binasa

Dalam budaya Minangkabau, pemimpin sejati disebut jago nagari—ia bukan sekadar kepala pemerintahan, melainkan penjaga moral, pelindung rakyat, dan pembela tanah kelahiran. Tapi hari ini, kita menyaksikan jago nagari itu telah binasa. Hati nurani mereka mati. Kepemimpinan mereka lumpuh. Mereka tidak lagi menepuk dada demi mempertahankan wilayahnya, karena nagari—dalam arti kampung maupun negara—telah mereka serahkan kepada kuasa kekuatan kerajaan bisnis yang mengatur banyak hal dari balik tirai kekuasaan.

Para jago nagari telah tenggelam dalam arus kompromi dan kepentingan. Mereka lebih memilih diam daripada melawan, lebih memilih aman daripada memperjuangkan. Mereka bukan tidak berdaya, tapi tidak mau berjuang. Dalam bahasa sindiran orang Minang:

“Sipiciak daun sipiciak, pambungkuih daun jilatang.
Nan cadiak mangguliciak, nan bodoh mambayia hutang.”
(Cerdik mencari celah, bodoh menanggung akibat.)

Inilah ironi terbesar kita hari ini. Ketika kecerdikan tidak digunakan untuk membela rakyat, tapi untuk mengelabui rakyat. Ketika yang memimpin kehilangan nyali, dan yang dipimpin tak lagi punya harapan.

Sebagaimana pepatah lama mengingatkan:

“Anak dipangku, kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan, jago nagari jan binaso.”
Kepemimpinan yang ideal bukan hanya menjaga keturunan, tapi juga memperhatikan nasib rakyat. Jago nagari jangan dibiarkan binasa, sebab jika ia lenyap, maka negeri akan kehilangan arah.

Penutup: Sebuah Pengingat

Esai ini ditutup dengan pantun penuh makna, sebagai pengingat akan bahaya yang bisa datang dari arah yang tidak disangka:

Pancaringek jo Batang Kapeh
Tumbuah sarumpun jo batang dadok
Duri nan tumbuah tiok tangkai
Tampuo basarang tantang baniah
Ingek-ingek nan di ateh
Nan di bawah kok maimpok
Tirih kok datang dari lantai
Galodo kok datang dari hilia

Ingat-ingatlah yang di atas, sebab yang menimpa bisa saja datang dari bawah.
Waspadai pula yang di bawah, karena tiris bisa merembes dari lantai.
Dan galodo—bencana besar—tak selalu datang dari hulu, kadang dari hilir,
dari arah yang tak disangka. Begitulah halusnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Review Puisi Esai “Nasionalisme di Era Algoritma” oleh Denny JA

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia