Menanggapi Peran AI dalam Dunia Seni: Antara Kreativitas Manusia dan Teknologi

Kehadiran teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia seni memunculkan beragam reaksi, terutama dari kalangan seniman. Beberapa melihatnya sebagai alat yang mempermudah proses kreatif, sementara yang lain meragukan integritas seni yang dihasilkan oleh teknologi ini. Salah satu isu utama yang sering dibicarakan adalah apakah karya seni yang diciptakan dengan bantuan AI, seperti lirik lagu, puisi, atau gambar, masih bisa dianggap sebagai hasil karya seorang seniman. Sejumlah kalangan bahkan meragukan status seorang seniman jika karya mereka melibatkan AI sebagai bagian dari proses penciptaan. Hal ini memerlukan pemahaman lebih mendalam mengenai peran manusia dalam menciptakan seni dan bagaimana teknologi AI dapat berperan sebagai alat, bukan pengganti.

Untuk memahami pandangan ini, kita bisa melihat sejarah perkembangan teknologi dalam dunia seni. Ketika fotografi pertama kali diperkenalkan, banyak pelukis yang merasa terancam, karena mereka melihat fotografi sebagai ancaman terhadap eksistensi seni lukis. Banyak dari mereka yang menolak untuk mengakui fotografer sebagai "seniman," dengan alasan bahwa karya fotografi tidak melibatkan kreativitas seperti halnya melukis. Namun, seiring berjalannya waktu, teknologi fotografi diterima dan bahkan menjadi bagian integral dari dunia seni. Banyak seniman yang akhirnya menggunakan fotografi sebagai medium ekspresi artistik mereka.

Fenomena yang serupa terjadi saat ini dengan AI. Banyak seniman yang merasa keberatan dengan adanya AI dalam penciptaan karya seni karena khawatir teknologi ini akan menurunkan nilai kreativitas. Mereka beranggapan bahwa jika suatu karya dihasilkan oleh mesin maka karya tersebut kehilangan nilai "keaslian"  yang seharusnya ada dalam seni. Namun, sama seperti fotografi, AI dapat dilihat sebagai alat baru yang digunakan oleh seniman untuk mengekspresikan visi kreatif mereka.

Isu lain yang juga kerap muncul adalah siapa yang berhak atas hak cipta dari karya seni yang dihasilkan dengan bantuan AI. Jika lirik lagu diciptakan oleh seorang manusia dan musiknya dihasilkan menggunakan AI, pertanyaannya adalah: siapa yang dianggap sebagai pencipta? Dalam sistem hukum hak cipta yang berlaku di banyak negara, hak cipta atas karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti lirik lagu, biasanya diberikan kepada penciptanya. Namun, ketika sebagian atau seluruh proses penciptaan dilakukan oleh AI, hal ini menjadi lebih rumit.

AI sendiri tidak dapat memiliki hak cipta karena ia  hanya sebuah mesin, tidak dapat diakui sebagai subjek hukum. Sebagai alat yang digunakan oleh manusia, AI tidak memiliki kapasitas untuk memiliki hak hukum atau kepemilikan atas karya yang dihasilkan. Oleh karena itu, hak cipta bisa diberikan kepada orang  yang mengembangkan atau bisa juga  kepada orang yang menggunakan AI tersebut. Dalam kasus lirik lagu dan musik yang dikerjakan dengan AI, hak cipta atas lirik dapat diberikan kepada penulis lirik, sementara hak cipta musik bisa diberikan kepada pengembang AI yang menciptakan alat , atau seniman pengguna teknologi tersebut. (tergantung pada sejauh mana keterlibatan seniman dalam proses kreatif.)

Penting untuk diingat bahwa meskipun AI dapat menghasilkan karya seni, kreativitas tetap berada di tangan manusia. AI bukanlah entitas yang memiliki kesadaran, perasaan, atau imajinasi seperti halnya manusia. AI bekerja berdasarkan data yang dimasukkan dan algoritma yang telah diprogram, dan meskipun dapat menghasilkan karya yang memukau, proses kreatif yang mengarah pada penciptaan karya seni tetap merupakan hasil dari keputusan manusia. Seniman yang memanfaatkan AI tetap memegang peran penting dalam mengarahkan, memilih, dan mengolah hasil yang dihasilkan oleh teknologi tersebut.

Seiring waktu, AI bisa dilihat sebagai alat yang memperluas kapasitas manusia dalam berkreasi. Sama seperti kamera atau alat musik digital yang digunakan oleh seniman, AI memberikan kemungkinan baru dalam penciptaan seni. Pada akhirnya, teknologi ini memungkinkan seniman untuk berinovasi lebih jauh, mengeksplorasi ide-ide yang sebelumnya sulit untuk diwujudkan, dan memberikan ekspresi dalam bentuk yang lebih bervariasi. AI adalah sarana, bukan pengganti, ia tidak dapat menyentuh dimensi emosional manusia.

Diskusi mengenai AI dalam seni juga menyentuh perdebatan tentang identitas seorang seniman. Jika seorang seniman menggunakan AI sebagai alat bantu, apakah mereka masih bisa dianggap sebagai pencipta sejati? Sebagian orang mungkin merasa bahwa hanya seniman yang benar-benar menciptakan karya dengan tangannya sendiri yang layak disebut sebagai "seniman." Namun, pandangan ini mengabaikan fakta bahwa seni selalu berkembang dengan adanya teknologi baru. Dalam sejarah seni, seniman telah menggunakan berbagai alat dan medium untuk menciptakan karya-karya mereka, dan setiap alat baru membawa perubahan dalam cara kita memahami seni.

Sama seperti halnya seni musik yang berevolusi dengan instrumen baru, seni di era digital ini juga akan berkembang dengan adanya teknologi seperti AI. Oleh karena itu, definisi "seniman" pun harus lebih fleksibel dan mencakup inovasi yang dilakukan oleh mereka yang mengarahkan penggunaan teknologi untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Kehadiran AI dalam dunia seni menimbulkan banyak perdebatan tentang hak cipta, kreativitas, dan identitas seniman. Namun, jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, AI tidak perlu dilihat sebagai ancaman terhadap seni atau seniman. Sebaliknya, AI adalah alat yang dapat memperluas kemungkinan ekspresi kreatif manusia. Seniman yang menggunakan AI tetap berperan sebagai pencipta yang mengarahkan proses kreatif, memilih, dan mengolah hasil yang dihasilkan oleh teknologi tersebut. Oleh karena itu, peran AI dalam seni seharusnya dilihat sebagai bagian dari evolusi seni itu sendiri, di mana teknologi dan kreativitas manusia dapat bersinergi untuk menciptakan karya-karya yang lebih inovatif dan bermakna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Review Puisi Esai “Nasionalisme di Era Algoritma” oleh Denny JA

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia