Dari Janji Manis hingga Jalan Pintas: Kisah Para Pemimpin yang 'Berbakti' Mengembalikan Modal
Di suatu desa yang tenang, para warga bersiap-siap menyambut pesta demokrasi yang gemilang. Seperti biasanya, para calon pemimpin datang berbondong-bondong dengan senyum manis dan dompet tebal, siap merebut hati rakyat. Tak ada yang lebih memikat dari janji manis, kecuali, tentu saja, uang tunai dalam amplop yang harum.
"Tidak ada uang, tidak ada suara!" begitulah slogan yang semakin populer di desa itu. Toh, apa salahnya menerima "sedekah" sedikit dari calon pemimpin? Mungkin mereka pikir, ini tanda keikhlasan si calon pemimpin. Lagi pula, kapan lagi bisa dapat uang gratis?
Namun, tahukah kita, warga desa yang bijak, bahwa para pemimpin ini bukan hanya pemurah hati? Oh, tidak. Mereka ini adalah investor ulung! Saat mereka mengeluarkan uang untuk kampanye, jangan salah paham: itu bukan derma, tapi investasi!
Mari kita perjelas skenario yang akan terjadi setelah pesta demokrasi usai dan kursi empuk kekuasaan berhasil diduduki. Setelah semua suara diperoleh dengan mulus, tugas pertama sang pemimpin adalah menghitung investasi yang sudah dikeluarkan. Seribu suara di desa A, dua ribu amplop di desa B. Tentu, semua ini harus dikembalikan dengan "bunga".
Tak lama setelah pemilihan, para kontraktor tiba-tiba ramai muncul. Mereka adalah rekan-rekan setia yang membantu selama kampanye. Di sini, lahir proyek infrastruktur yang sangat strategis, seperti jalan yang dibangun untuk separuh desa tapi tiba-tiba "habis dana." Kok bisa? Ah, rupanya dana proyek itu singgah di banyak "kantong tak terlihat" sebelum sampai ke jalan.
"Itu biasa!" kata seorang penduduk. "Setidaknya ada jalan setengah jadi, daripada tidak sama sekali!"
Oh, penduduk yang bijak, jangan khawatir. Dana itu bukan hilang, hanya saja kembali dengan manis ke tangan sang pemimpin. Bukankah tujuan kampanye itu untuk 'membangun'? Membangun pundi-pundi pribadi, tentu saja!
Setelah infrastruktur diurus, kini saatnya menata pemerintahan daerah. Tapi, tunggu sebentar! Jabatan di pemerintahan bukan untuk siapa saja, lho. Mau jadi kepala dinas? Bayar dulu! Mau jadi camat? Harganya juga beda!
"Tapi bukankah mereka sudah bekerja keras selama kampanye?" tanya seorang pemuda desa.
Benar sekali! Maka dari itu, semua yang membantu harus mendapatkan 'imbalan'. Apa gunanya loyalitas tanpa hasil? Posisi-posisi strategis ini adalah tiket emas untuk mengembalikan modal yang sudah diinvestasikan. Bayar sedikit di depan, nanti kamu bisa "mengambil kembali" dari proyek-proyek lainnya. Sederhana, bukan?
Tak hanya para pejabat tinggi, rakyat biasa juga bisa ikut merasakan dampak langsung dari kebijakan 'investasi modal'. Ketika hendak mengurus surat tanah, izin usaha, atau bahkan akta kelahiran, siap-siaplah dengan pungutan liar. Birokrasi yang dulu panjang kini dipangkas, asalkan kamu rela menyelipkan amplop ke tangan yang tepat.
"Layanan cepat dan efisien!" seru seorang warga.
Efisien memang, tapi berbayar. Siapa bilang pelayanan publik gratis? Bukankah kita semua sudah tahu, segala hal ada harganya, bahkan demokrasi?
Salah satu kisah favorit di desa adalah dana desa. Setiap tahunnya, anggaran besar digelontorkan oleh pemerintah pusat untuk membangun desa. Oh, betapa bahagianya rakyat desa membayangkan jembatan baru, pasar desa yang megah, atau mungkin pusat kesehatan yang lengkap!
Namun, ada hal yang lebih misterius dari hantu di desa ini: ke mana larinya dana desa?
"Kata pak kepala desa, dana itu habis untuk rapat-rapat dan studi banding," kata seorang tetua desa sambil mengelus jenggot.
Studi banding? Mungkin mereka bandingkan gaya hidup petinggi daerah dengan desa kecil yang sedang bermimpi untuk sejahtera. Tentu, dana itu diperlukan untuk perjalanan panjang, akomodasi, dan makan-makan enak. Bukankah begitu cara membangun desa? Dengan kenyang!
Kini, setelah semua 'pengembalian modal' dilakukan dengan sempurna, sang pemimpin tersenyum puas. Tapi, masih ada satu jalan terakhir yang bisa ditempuh: utang daerah!
"Ini demi pembangunan daerah kita!" katanya berapi-api dalam pidato.
Namun, pembangunan apa yang dimaksud? Oh, jangan khawatir, generasi mendatang akan mengerti. Mereka akan mewarisi utang yang tak terbayar ini, sebagai warisan dari pemimpin yang bijaksana. Setidaknya, saat mereka membayar pajak tinggi di masa depan, mereka bisa mengenang dengan bangga bahwa ini semua demi kebaikan bersama.
Jadi, kepada para warga yang bijak, mari kita angkat topi dan berterima kasih kepada para calon pemimpin yang begitu dermawan. Mereka bukan hanya pemimpin, mereka adalah pengusaha politik yang handal. Demokrasi bukan sekadar memilih, tapi juga investasi yang pasti menguntungkan—tapi sayangnya, hanya untuk mereka.
Jangan khawatir tentang kesejahteraan. Bukankah kita semua sudah mendapatkan bagian kita saat pemilihan? Selembar uang tunai dalam amplop, janji kosong yang diucapkan manis, dan jalan setengah jadi.
Selamat datang di pesta demokrasi kita! Semoga kita bisa terus menikmati hasil dari "investasi" ini, hingga kita sadar bahwa politik uang bukan solusi, tapi jebakan yang tak berujung.
Komentar
Posting Komentar