Politik Pragmatis: Menunggangi Gelombang Dukungan dengan Bola Voli dan Balai Pemuda
Politik Pragmatis: Menunggangi Gelombang Dukungan dengan Bola Voli dan Balai Pemuda
Oleh : Armunadi
Menjelang pemilihan kepala daerah, hiruk-pikuk politik mulai terasa seperti pasar malam yang sibuk. Para calon kepala daerah muncul bak peselancar, menunggangi gelombang opini dan dukungan masyarakat untuk mencapai pantai kekuasaan. Namun, strategi mereka tidak selalu didasarkan pada janji besar tentang visi masa depan atau reformasi mendalam. Di banyak tempat, pendekatan yang paling efektif dan "menggelitik" adalah pendekatan pragmatis yang sesederhana bantuan bola voli dan dana pembangunan balai pemuda.
Dalam dunia politik kita, ada satu kebenaran sederhana: semakin dekat waktu pemilihan, semakin realistis dan pragmatis janji-janji yang dibuat. Alih-alih berbicara tentang infrastruktur besar atau pengembangan ekonomi yang kompleks, para calon kepala daerah lebih memilih memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Butuh bola voli untuk turnamen? Sudah tentu, calon akan datang dengan senyum lebar, bola baru di tangan, dan janji dukungan penuh. Apakah balai pemuda di kampung perlu renovasi? Tiba-tiba, aliran dana cair dengan mudahnya, seolah tak ada batasan anggaran untuk kebutuhan tersebut.
Inilah politik pragmatis yang begitu familiar dan ironis. Bagi politisi, pendekatan ini sangat masuk akal. Mereka tidak perlu menggali terlalu dalam atau mengajukan program-program besar yang mungkin sulit dijalankan. Cukup sediakan apa yang diinginkan masyarakat secara langsung: bola voli, bantuan acara lokal, atau bahkan sekedar jamuan makan bersama. Dengan cara ini, dukungan mudah diraih, dan suara masyarakat didapat tanpa perlu janji-janji muluk yang sulit dipenuhi.
Namun, seperti ombak di lautan yang menghantarkan peselancar ke pantai, dukungan ini bisa hilang secepat ia datang. Politik pragmatis ini layaknya gelombang sementara, yang begitu halus dan ringan, tapi bisa meninggalkan jejak yang tak mendalam. Rakyat menerima bantuan, merasa puas untuk sementara, tetapi apakah ini benar-benar mengatasi masalah mendasar yang dihadapi masyarakat? Apakah bola voli dan balai pemuda yang baru benar-benar akan membawa perubahan besar?
Kenyataannya, pendekatan pragmatis sering kali menciptakan budaya politik transaksional. Calon memberikan "hadiah," masyarakat memberikan suara. Begitu sederhana. Dalam konteks ini, politik tidak lagi menjadi tentang perubahan struktural atau perbaikan sistemik, melainkan tentang "apa yang bisa saya dapatkan sekarang." Siklus ini terus berulang setiap kali pemilihan datang, sementara isu-isu besar seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial tetap menjadi masalah yang terabaikan.
Bagi para politisi, ini mungkin adalah strategi cerdas, tetapi bagi masyarakat, kita harus mulai bertanya: apakah kita hanya akan puas dengan bola voli dan balai pemuda? Apakah kita hanya akan mendukung mereka yang bisa memenuhi kebutuhan praktis kita sesaat, atau kita seharusnya mencari pemimpin yang benar-benar peduli pada perubahan jangka panjang?
Menariknya, politisi yang menggunakan strategi ini sering kali mirip dengan peselancar yang hanya peduli pada ombak ketika sedang di laut. Setelah mencapai pantai yang landai dan aman—setelah terpilih dan duduk di kursi kekuasaan—ombak (baca: rakyat) tidak lagi penting. Rakyat, seperti buih di permukaan ombak, seringkali dilupakan, sementara politisi menikmati pantai kekuasaan yang nyaman.
Akhirnya, pendekatan pragmatis ini menjadi cerminan dari betapa mudahnya kita, sebagai masyarakat, terjebak dalam janji-janji kecil yang tidak berkelanjutan. Kita perlu ingat, bola voli dan balai pemuda adalah hal penting, tetapi tidak seharusnya menjadi inti dari politik kita. Kita membutuhkan lebih dari itu. Kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya menunggangi ombak opini untuk mendapatkan suara, tetapi yang siap menyelam lebih dalam, menangani masalah-masalah fundamental yang dapat membawa perubahan jangka panjang.
Jadi, ketika bola voli berikutnya datang, mari kita berpikir dua kali sebelum terpesona. Mungkin kita membutuhkan lebih dari sekedar buih ombak—mungkin kita membutuhkan pemimpin yang bisa menyalakan api perubahan, bukan sekadar memberi bola dan buih.
Komentar
Posting Komentar