Dengarlah Sebelum Bicara, Karena Suara Tanpa Telinga Itu Hampa

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pasti sering berjumpa dengan orang yang punya kemampuan super untuk berbicara. Mereka bisa berbicara tentang apa saja, kapan saja, dan—yang paling menakjubkan—tanpa jeda. Jika ada perlombaan berbicara, orang-orang ini pasti sudah dapat piala emas di semua kategori. Tapi, ada satu hal yang mereka sering lupakan: mendengarkan.

Coba bayangkan, Anda sedang duduk di warung kopi, ingin bercerita tentang pengalaman menarik yang baru Anda alami. Lalu, baru saja Anda berkata, "Kemarin, saya—", tiba-tiba teman Anda memotong, "Oh, iya! Kemarin saya juga makan di restoran baru, makanannya enak sekali!" Dan cerita Anda pun menguap seperti asap kopi yang baru diseduh. Rasanya, seperti berada dalam permainan tebak cepat, di mana Anda bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimat sebelum seseorang sudah menebak-nebak apa yang akan Anda katakan—dan tentu saja, tebakan mereka salah besar.

Situasi ini bukan hanya sekadar mengganggu di lingkungan sosial, tapi juga bisa menjadi bumerang besar bagi para pemimpin. Bayangkan seorang pemimpin yang begitu semangat berbicara tentang kebijakan-kebijakan baru, tanpa sedikit pun mendengarkan apa yang rakyatnya keluhkan. Seperti menyanyikan lagu di tengah konser, tapi semua orang sudah pulang karena tidak ada yang tertarik mendengarnya. Apa yang tersisa? Suara kosong dan hampa, tanpa makna.

Bayangkan pula seorang pemimpin yang, saat rakyatnya berkata, "Pak, harga bahan pokok makin naik, kami butuh solusi," dia malah menjawab, "Oh, tapi lihatlah, saya baru saja mengesahkan undang-undang baru tentang warna lampu lalu lintas!" Sontak, rakyat pasti akan kebingungan, "Apa hubungannya?" Inilah contoh nyata, betapa pentingnya mendengarkan sebelum berbicara. Seperti mencoba memasak tanpa resep, kebijakan yang dibuat tanpa mendengarkan rakyat sering kali hasilnya hambar, atau lebih parah lagi—basi.

Mendengarkan adalah seni yang sering dilupakan banyak orang. Banyak yang berpikir bahwa berbicara dengan penuh semangat dan volume tinggi adalah kunci kesuksesan dalam diskusi. Padahal, seperti ungkapan bijak mengatakan, "Orang yang berbicara lebih banyak dari yang dia dengar, biasanya sudah tersesat di labirin pikirannya sendiri." Jika Anda tidak tahu apa yang orang lain butuhkan, bagaimana Anda bisa memberikan jawaban yang tepat?

Di dunia kepemimpinan, seorang pemimpin yang tidak mendengarkan rakyatnya ibarat koki yang tidak mencicipi masakannya sendiri. Hasil akhirnya? Tentu saja, rasa yang tidak sesuai selera. Rakyat butuh solusi untuk masalah nyata mereka, bukan sekadar janji-janji atau pidato panjang lebar yang tidak menjawab persoalan. Jika pemimpin terus berbicara tanpa henti dan tanpa mendengarkan, kebijakan yang dikeluarkan hanya akan menjadi tumpukan kertas tanpa dampak nyata di lapangan.

Lucunya, banyak dari kita yang sebenarnya sudah tahu pentingnya mendengarkan, tapi tetap saja, ketika kesempatan berbicara muncul, semua nasihat bijak itu terbang entah ke mana. Kita berubah menjadi seperti pemain solo yang lupa bahwa ini adalah konser orkestra. Hasilnya? Ya, suara sumbang di tengah harmoni, dan tentu saja, penonton tidak akan tinggal diam.

Kesimpulannya, mari kita renungkan kembali pentingnya mendengarkan sebelum berbicara. Baik dalam percakapan sederhana di warung kopi, maupun di ranah kepemimpinan. Jangan sampai kita jadi seperti penyanyi yang berteriak di atas panggung, sementara penonton sudah lama meninggalkan tempat konser. Dengarkan dulu, baru berbicara. Karena, seperti kata pepatah, suara tanpa telinga adalah hampa—dan yang hampa, tak akan pernah membuat perubahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Review Puisi Esai “Nasionalisme di Era Algoritma” oleh Denny JA

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia