Gadang Buayo di Muaro, Gadang Garundang di Kubangan

"Gadang buayo di muaro, gadang garundang dikubangan." Dalam kata-kata yang sederhana namun sarat makna itu terkandung suatu kearifan yang mendalam tentang keberadaan manusia di tengah arus kehidupan yang mengalir.

Begitu banyak yang dapat dipetik dari simpul-simpul kata yang teranyam dalam ungkapan ini. Di balik metafora yang menggambarkan buaya dan kecebong, terselip pesan tentang sifat rendah hati dan sikap bijaksana dalam beradaptasi dengan lingkungan. Setiap buaya, walaupun besar dan kuat, menyadari batasannya saat berada di muara sungai yang luas. Begitu pula dengan kecebong, yang lincah dan tangkas di kubangan air yang sempit. Keduanya mengajarkan bahwa kesuksesan tidak hanya bergantung pada kekuatan atau kemampuan, tetapi juga pada kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

Namun, di balik pelajaran tentang kesederhanaan dan kebijaksanaan, terbentang pula landasan yang kokoh tentang sikap rendah hati dan penghargaan terhadap orang lain. Pesan dalam ungkapan ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu percaya diri atau menganggap diri kita lebih unggul dari orang lain, melainkan untuk selalu membawa diri dengan santun dan hormat di setiap lingkungan yang kita hadapi. Dengan sikap yang demikian, kita dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama makhluk, tanpa mengenal batasan budaya atau status.

Dalam guratan-guratan kata yang mengalun seperti aliran sungai, ungkapan ini mengajak kita untuk merenung tentang kedalaman makna dalam setiap langkah kehidupan. Sebab, di tengah arus yang tak pernah surut, kebijaksanaan dan kesederhanaan adalah sumber kekuatan yang hakiki bagi setiap insan yang ingin menjelajahi liku-liku kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Review Puisi Esai “Nasionalisme di Era Algoritma” oleh Denny JA

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia