Batang Buluh Kosong di Bayang Beringin
Batang Buluh Kosong di Bayang Beringin
Pagi hari di Minangkabau membawa embun yang perlahan menghilang dari daun rimbun. Langit masih menggantungkan kabut di lereng bukit, dan suara ayam jantan bersahutan dari kejauhan. Di tengah kampung, anak-anak berlari di halaman, nenek duduk menyisir rambut cucunya, dan suara alu bertalu dari dapur rumah gadang. Segalanya tampak biasa—namun di balik rutinitas itu, ada yang mulai kehilangan arah: pemimpin adat yang tak lagi menjadi penuntun.
Kaum yang dulunya teduh di bawah naungan rindang daun beringin,  
padi masak, jagung berbunga, ternakpun berkembang biak,  
kini terpapar teriknya matahari zaman.  
Orang tak lagi berkecimpung di tepian kata, atau mandi di pancuran rasa.  
Seakan jalan ke tepian telah samar, dan orang yang biasanya menunjukkan jalan justru ikut tersesat.  
Dalam kegamangan itulah, kita mulai bertanya: masihkah penghulu menjadi peneduh seperti dulu?
Dalam tambo dan pepatah Minangkabau, penghulu adalah “beringin di tengah padang”:
> Daunnya tempat berteduh, dahannya tempat bergantung, batangnya tempat bersandar, dan akarnya tempat duduk bersila.
Ia menjadi tempat kembali, tempat mufakat, tempat rakyat berlindung. Gelarnya bukan sekadar nama, tapi pengakuan akan warisan amanah dari nenek moyang, untuk memimpin perahu yang bernama Minangkabau agar tak karam di tengah ganasnya lautan.  
Namun hari ini, banyak gelar diwarisi tanpa bekal pengetahuan yang cukup dan tanggung jawab yang kuat, tanpa tahu seperti apa bau keringat kaumnya. Nama diwarisi, tapi nilainya tak ditanamkan. Seiring perubahan zaman dan perluasan rantau, posisi penghulu pun mulai goyah di antara kabut politik, modernisasi, dan tekanan hukum negara yang tak sepenuhnya memahami roh adat.
Kini, gelar bisa dibeli. Bisa dikejar demi prestise, bukan tanggung jawab. Bahkan bisa dijadikan hiasan politik atau alat tawar-menawar kekuasaan. Banyak penghulu dipanggil 'Datuk' tetapi tak bisa menjadi tameng kaumnya. Ia bicara adat, tapi tak bisa menengahi pertikaian. Ia hadir dalam acara, tapi tak dikenal oleh anak kemenakan. Gelarnya bergaung, tapi suaranya kosong.
Dalam keadaan seperti itu, ia tak ubahnya seperti batang buluh yang kosong:  
ia hanya bisa digunakan untuk memasak lemang, atau untuk membuat balai-balai.  
Buluh memang berguna—untuk saluang, untuk bangunan ringan—tetapi ia bukanlah beringin, dan tidak akan pernah menjadi beringin.
Masyarakat Minangkabau sedang bercermin di batang buluh itu.  
Kita menatap wajah pimpinan kita, dan melihat bayangan kosong dari nilai yang seharusnya menyertainya.  
Bukankah ini juga cermin diri kita—yang lebih bangga pada gelar, lebih sibuk merapikan tampilan, daripada membenahi kualitas?
Yang mampu membeli gelar, belum tentu mampu memikul nilai.  
Yang duduk di anjung, belum tentu bisa bicara dalam adat.  
Adat adalah napas panjang kebudayaan yang dihirup bersama oleh masyarakat Minangkabau — ia bukan sekadar aturan, melainkan cahaya nilai yang membimbing laku hidup dari lahir hingga pulang ke tanah.
Ia tumbuh dari pengalaman, mengendap menjadi kebijaksanaan, dan diwariskan bukan dengan paksa, melainkan dengan rasa.  
Adat itu laku, karena ia hidup dalam kesadaran kolektif — bukan karena ditakuti, tetapi karena diperlukan dan dirindukan.  
Ia “lamak di awak, katuju di urang”: menyentuh nurani sendiri, dan menenangkan hati orang lain.
Namun hari ini, yang berilmu dan berkualitas kerap tersingkir oleh yang kuat secara materi.  
Nilai diganti dengan penampilan, marwah ditukar dengan kuasa.  
Adat yang dulu hidup dalam ruang keseharian, kini berpindah menjadi sekadar pemanis bibir dalam pidato resmi.
Apakah kita rela melihat beringin tumbang, digantikan batang kosong?  
Apakah kita cukup puas dengan nama adat, sementara napas hidupnya tak lagi kita hirup?  
Bagaimana generasi muda bisa menghargai penghulu, jika penghulu tak lagi menopang—melainkan menjadi tongkat yang membawa rebah?  
Kita tak bisa terus diam, saat rumah gadang mulai kehilangan tiangnya.
Sudah waktunya kita menyemai ulang nilai dalam tubuh penghulu—bukan dengan amarah atau penolakan terhadap tradisi, tetapi dengan mengisi kembali gelar itu dengan jiwa, marwah, dan ilmu.
Jika kita ingin beringin yang rindang berdiri kembali di tengah padang—  
tempat berteduh dari terik, tempat bersandar saat lelah, tempat bersila mencari mufakat—  
maka saatnya kita menyiram kasih pada anak kemenakan.
Sebab beringin yang kokoh tidak tumbuh di lingkungan yang buruk. Ia perlu air yang mengalir dengan sabar, dan tanah yang dijaga dari racun-racun zaman.  
Begitu pula anak kemenakan—mereka adalah akar yang sedang mencari arah, tunas yang menunggu disentuh oleh tangan yang lembut namun tegas.
Menyiram kasih bukan sekadar memberi nasihat, tetapi mengantar mereka mengenal akar—akar nilai, akar marwah, dan akar malu.  
Kasih itu berbentuk ajaran yang diteladankan, bukan hanya diucapkan. Ia hadir dalam sapaan sehari-hari, dalam teguran yang tidak menjatuhkan, dalam kehadiran yang tidak menggurui, tapi memagari.
Jika penghulu kokoh seperti pohon beringin yang rindang, maka kasih kepada anak kemenakan adalah mata air yang membuat rindangnya bertahan.  
Tanpa itu, gelar hanya akan tinggal nama, dan anak kemenakan pun akan tumbuh dalam kekeringan yang tak dikenalnya.
Maka saatnya kita menyiram kasih pada anak kemenakan.
Sebab pemimpin adat tidak boleh kosong.
Komentar
Posting Komentar