Rapat Akbar Para Kera
Rapat Akbar Para Kera
Oleh: Armunadi
Di hutan tropis yang rindang, pada suatu sore disirami hujan deras, para kera berkumpul di bawah pohon besar. Suasana riuh, dengan percikan air membasahi bulu-bulu mereka, hingga seekor kera tua yang dihormati, Kera Bijak, memukul batang pohon sebagai tanda dimulainya rapat.
“Saudara-saudaraku,” seru Kera Bijak, “kita tidak bisa terus-menerus basah kuyup setiap kali hujan datang. Kita harus bertindak! Kita akan membangun pondok untuk berteduh!”
Sorak-sorai meletus dari seluruh peserta rapat. Kera-kera muda memukul-mukul dada mereka dengan semangat, sementara kera-kera tua mengangguk penuh kebijaksanaan.
Semua kera berseru tentang pentingnya membangun pondok untuk berteduh. Di antara mereka, ada seekor kera yang berbeda. Dia adalah Kera Desersi—seekor kera yang pernah hidup bersama manusia, belajar memetik kelapa, dan menyaksikan bagaimana manusia merencanakan sesuatu dengan rapi dan terstruktur.
Ketika Kera Bijak meminta usulan, Kera Desersi maju dengan percaya diri. 
“Saudara-saudaraku,” serunya, “kita tidak bisa hanya berbicara. Kita harus memiliki rencana! Pertama-tama, kita perlu menentukan lokasi dan ukuran  pondok.apakah pondok yang akan kita bangun juga akan digunakan untuk tempat bermalam, atau hanya untuk tempat berlindung dari hujan. Dan selanjutnya kita akan rancang desain yang pas untuk kebutuhan kita.  Lalu, kita harus mengumpulkan bahan-bahan seperti daun besar, ranting yang kuat, dan akar untuk mengikat. Setelah itu, kita membagi tugas. Ada yang mencari bahan, ada yang membangun, dan ada yang memastikan pondok itu kokoh.”
Para kera terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang dikatakan Kera Desersi. Namun, kebingungan segera menyelimuti wajah mereka.
“Apa maksudmu membagi tugas?” tanya Kera Perkasa.
“Kenapa harus ada lokasi? Bukankah kita bisa membangun di mana saja?” sela Kera Pintar.
"Kenapa pakai desain segala ? Ribet! Kenapa harus  akar? Bukankah daun saja sudah cukup?” teriak yang lain.
Kera Desersi mencoba menjelaskan dengan sabar, menggunakan pengalamannya selama menjadi asisten manusia. Dia berbicara tentang pentingnya fondasi yang kuat, pembagian kerja yang efisien, dan langkah-langkah terencana. Namun, semakin banyak dia berbicara, semakin bingung para kera lainnya.
“Apa yang dia bicarakan?” bisik Kera Kecil. “Kenapa rumit sekali? Bukankah kita hanya butuh daun dan ranting?”
Kera Bijak, yang merasa tersaingi, akhirnya berkata, “Saudara-saudaraku, rencana ini terlalu sulit untuk kita pahami. Kita hanya perlu bekerja sama dan membangun pondok dengan apa yang ada!”
Sorak-sorai mendukung Kera Bijak. Kera Desersi, meski kecewa, memilih diam. Dia tahu, tak ada gunanya berbicara logika kepada mereka yang tidak mampu memahaminya.
“Kita harus menunjuk tim kerja,” kata Kera Bijak akhirnya. “Siapa yang akan memimpin proyek ini?”
Kera Perkasa langsung berdiri. “Aku kuat! Aku bisa memimpin!”
“Tapi kau tidak pintar,” sindir Kera Pintar. “Aku yang seharusnya memimpin!”
Rapat pun berubah menjadi arena debat. Ada yang menunjuk dirinya sendiri, ada yang mendukung kera lain, dan ada pula yang sibuk menggaruk bulu tanpa peduli. Hujan yang tadinya deras perlahan mulai reda, dan sinar matahari kembali mengintip.
“Sudah selesai hujannya,” seru Kera Kecil sambil melompat turun dari pohon. “Aku mau cari pisang!”
Yang lain pun mengikuti, meninggalkan Kera Bijak dan Kera Pintar yang masih berdebat. Rapat berakhir begitu saja, tanpa kesimpulan, tanpa rencana, dan tentu saja tanpa pondok.
Hari-hari berlalu. Hujan datang lagi, dan cerita yang sama terulang. Para kera kembali berkumpul di bawah pohon, membicarakan pondok yang tak pernah terwujud, dan seperti biasa,  akhirnya bubar tanpa hasil.
Komentar
Posting Komentar