Menyelamatkan Lahan Komunal: Menguatkan Pemahaman di Tengah Ancaman Sertifikasi Pribadi
Di tengah arus modernisasi dan kebijakan pemerintah yang mewajibkan setiap lahan memiliki sertifikat kepemilikan atas nama pribadi, nasib lahan komunal masyarakat adat berada di persimpangan. Di Minangkabau, misalnya, lahan ulayat bukan sekadar tanah biasa, tetapi simbol keberlanjutan, identitas, dan solidaritas antar generasi. Ironisnya, kebijakan ini tidak hanya mengancam hak kolektif masyarakat adat, tetapi juga bertentangan dengan hukum adat yang melarang memperjualbelikan tanah ulayat.
Dalam adat Minangkabau, tanah ulayat adalah "pusaka tinggi" yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanah ini tidak dimiliki oleh individu, tetapi oleh kaum—sebuah konsep yang menegaskan bahwa tanah adalah warisan bersama yang harus dilindungi dan dijaga keberlanjutannya. Namun, ketika sertifikasi pribadi diberlakukan, tanah ulayat menghadapi ancaman besar untuk berubah menjadi aset yang bisa diperjualbelikan.
Bayangkan jika tanah yang seharusnya menjadi milik bersama diubah menjadi sertifikat atas nama individu. Tidak hanya menyalahi aturan adat, tindakan ini membuka peluang bagi pihak luar untuk mengeksploitasi tanah tersebut. Lebih parahnya lagi, kepemilikan individu ini bisa menciptakan konflik internal dalam masyarakat adat, melemahkan solidaritas, dan merusak tatanan adat yang telah terjaga selama berabad-abad.
Masalah ini diperburuk oleh kurangnya pemahaman kolektif, baik di kalangan masyarakat adat maupun pemerintah. Di satu sisi, masyarakat adat sering kali kurang memahami risiko hukum dari sertifikasi pribadi. Di sisi lain, pemerintah lebih fokus pada legalisasi formal tanah tanpa mempertimbangkan nilai-nilai adat yang menyertainya.
Ketidaksinkronan ini menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menguasai lahan komunal. Tanpa kesadaran yang kuat, baik dari masyarakat adat maupun pemerintah, tanah ulayat akan terus kehilangan maknanya sebagai simbol keberlanjutan dan keadilan.
Langkah pertama untuk menyelamatkan tanah ulayat adalah memperkuat pemahaman di kedua belah pihak:
Masyarakat adat harus diberikan pemahaman yang mendalam tentang bahaya sertifikasi atas nama pribadi. Mereka perlu mengetahui bahwa tanah ulayat bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga bagian dari identitas kolektif mereka. Pelatihan tentang hukum tanah dan pemetaan partisipatif dapat membantu mereka melindungi hak-hak mereka.
Pemerintah harus memahami bahwa tanah ulayat memiliki dimensi budaya dan sosial yang tidak dapat diabaikan. Dialog dengan masyarakat adat dan pengakuan formal terhadap tanah komunal sebagai milik kolektif adalah langkah penting untuk mencegah konflik.
Pemerintah perlu menciptakan kebijakan yang memungkinkan tanah ulayat tetap berstatus komunal. Mekanisme seperti Peraturan Menteri ATR/BPN tentang tanah ulayat harus diimplementasikan dengan lebih tegas dan inklusif.
Tanah ulayat bukan sekadar tanah; ia adalah simbol keberlanjutan dan keadilan sosial. Dalam filosofi Minangkabau, tanah adalah tempat berpijak bersama, bukan untuk dimiliki secara individu. Hukum adat dengan jelas menyatakan bahwa tanah ulayat tidak boleh dijual, digadai, atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.
Dengan memahami ancaman yang dihadapi tanah ulayat saat ini, masyarakat adat dan pemerintah harus bersatu untuk menjaga keberadaan tanah ini. Jangan sampai warisan yang telah bertahan selama ratusan tahun hilang begitu saja hanya karena ketidakpedulian dan kurangnya pemahaman.
Tanah ulayat adalah jantung dari kehidupan masyarakat adat. Melindunginya berarti menjaga identitas, solidaritas, dan keberlanjutan generasi mendatang. Apakah kita akan membiarkan tanah ini hilang, atau kita akan berdiri untuk mempertahankannya? Pilihan ada di tangan kita semua.
Komentar
Posting Komentar