Ketika Komunitas Jadi Komoditas: Menguak Hubungannya

Di suatu negeri yang jauh (atau mungkin dekat, tergantung lokasi Anda), ada sebuah fenomena unik di mana komunitas-komunitas tradisional yang dulunya penuh dengan kekeluargaan dan gotong royong kini telah menemukan peran baru mereka: menjadi startup sosial. Ya, Anda tidak salah baca. Kini, komunitas bukan sekadar tempat berkumpul untuk arisan, pengajian, atau ngobrol soal tetangga yang suka menyalakan sound sistem  keras-keras—tapi juga ladang investasi sosial yang sangat menjanjikan.

Beberapa orang, yang entah terlalu pintar atau terlalu licik, melihat peluang besar di dalam komunitas. Mereka bukan sekadar mau jadi bagian dari komunitas, tapi juga berpikir, "Kenapa tidak menjadikan komunitas ini komoditas?" Lagi pula, kalau bisa dapat dua untung sekaligus—pengakuan sosial dan keuntungan pribadi—mengapa harus memilih salah satu?

Sebut saja Pak Budi, seorang pria biasa yang tiba-tiba jadi selebritas di desanya setelah mengambil posisi sebagai "penasehat spiritual" dalam komunitas. Bukan karena ia paham soal spiritualitas, tetapi karena ia paham betul cara membaca peluang. Kini, setiap kali ada acara di komunitas, ia duduk di kursi depan dengan sorot kamera yang terang, sambil sesekali mengangguk bijak seperti filsuf yang sedang merenungkan kebijaksanaan hidup.

Apa keuntungan jadi "penasehat spiritual" komunitas? Selain tawaran jadi MC dadakan di acara-acara pernikahan, Pak Budi juga mendapatkan akses eksklusif ke sumber daya utama komunitas: "dukungan massa." Ya, dukungan massa adalah komoditas paling laris di pasar sosial hari ini. Anda tidak perlu menjadi orang yang hebat atau bahkan benar; cukup dapatkan dukungan komunitas, dan tradaaa... Fuahhh ! Anda punya tiket emas menuju dunia sosial yang lebih luas.

Kemudian ada Bu Tati, yang jeli melihat bahwa komunitas bukan sekadar tempat ngobrol setelah arisan RW. Dia dengan cekatan mengubah komunitasnya menjadi basis dukungan politik, dengan janji bahwa komunitas ini "bersatu, kuat, dan mandiri." Sebenarnya, tidak ada yang tahu persis apa yang "bersatu, kuat, dan mandiri" itu artinya, tapi terdengar keren, bukan?

Bu Tati tahu bahwa setiap suara anggota komunitasnya berharga. Jadi, dia menjual janji dukungan kepada para kandidat politik yang haus suara. Para politisi datang, merayu komunitas dengan pidato panjang yang membosankan, dan Bu Tati duduk di belakang dengan senyum puas, memikirkan berapa banyak pengaruh (dan mungkin amplop) yang dia dapatkan setelah pemilu.

Dan jangan lupakan Pak Herman, yang dengan brilian menjadikan komunitasnya sebuah entitas internasional. Bagaimana caranya? Mudah. Dia cukup menempelkan label "kearifan lokal" pada setiap aktivitas komunitas dan mempromosikannya di media sosial. Kini, komunitas yang dulunya hanya tempat ngobrol soal harga cabe, sudah menjadi "pusat kebudayaan dunia yang menghargai tradisi."

Oh, jangan salah. Kini komunitas ini sering mendapat undangan untuk berbicara di konferensi internasional tentang "ketahanan komunitas di era globalisasi." Hebatnya, komunitas ini bahkan tidak sadar mereka sedang dikomodifikasi (dipergalaskan). Mereka hanya bangga bisa tampil di media sosial, sementara Pak Herman, tentu saja, mendapatkan lebih dari sekadar "like" di Instagram—ia mendapatkan pengaruh global.

Jadi, apa yang kita pelajari dari fenomena ini? Bahwa komunitas, yang dulunya tempat berkumpul untuk saling berbagi dan mendukung, kini bisa menjadi produk yang sangat menguntungkan. Ingin terkenal? Ingin jadi pemimpin tanpa harus memimpin? Atau mungkin hanya ingin merasa penting tanpa benar-benar penting? Mudah! Bergabunglah dengan komunitas, ambil peran, lalu komodifikasilah mereka.

Mungkin nanti kita akan melihat iklan lowongan pekerjaan yang berbunyi: "Dicari, pemimpin komunitas. Gaji: pengakuan sosial. Fasilitas: dukungan massa dan otoritas moral."

Dan siapa tahu, suatu hari nanti komunitas bukan hanya jadi tempat bersosialisasi, tapi juga dicatat di bursa saham. Karena, ya, di dunia ini, bahkan gotong royong pun bisa jadi barang dagangan.◾ Armunadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Taman Budaya: Mandat, Tantangan, dan Harapan untuk Masa Depan

Review Puisi Esai “Nasionalisme di Era Algoritma” oleh Denny JA

Nan Jombang: Dari Eksistensi ke Ikon Seni Pertunjukan Dunia